Meine

My life, My adventure, My story..

Pages

Menyingkap Tirai Poso


Kisah Kuliah Kerja Nyata (KKN) NKRI Poso Gelombang 93 Unhas di Tahun 2016

Apa yang kalian pikirkan saat mendengar nama Kota Poso? Sebagian besar masyarakat Indonesia akan mengingat terorisme. Sisanya akan memikirkan kerusuhan Poso yang dipicu oleh konflik agama.

Poso, kota yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah ini kaya akan tempat wisata, budaya dan adat istiadat yang kental. Namun, peristiwa kerusuhan yang terjadi pada akhir tahun 90an membuat pandangan tentang Poso berubah. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengeneralkan kondisi Poso tidak aman karena ada banyak teroris.
Indahnya Poso
Pandangan ini berhasil saya tepis saat melakukan program pengabdian masyarakat di sana. Awal mula mendaftar untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Poso, saya sudah mendengar banyak tanggapan miring dari teman. Banyak orang yang tidak ingin ke sana karena tak mau mati sia-sia. Ada juga yang bilang mahasiswa yang KKN di sana akan dijadikan pasukan perdamaian. Namun, saya tidak terlalu mengubris pendapat itu. Niat untuk mengambil pelajaran dalam setiap perjalanan membawa kaki terus melangkah.
           
Seleksi KKN berakhir dan terpilihlah saya bersama 51 kawan lainnya untuk mengabdi di Poso. Kami akan ditempatkan di lima desa berbeda selama 42 hari. Ada Desa Dulumai dan Desa Peura yang berada di Kecamatan Pamona Puselemba, dan di Kecamatan Pamona Selatan ada Desa Pendolo, Desa Pasir Putih serta Desa Bangun Jaya. 
Mahasiswa KKN NKRI Poso Gelombang 93 Unhas
Kami berangkat dari Unhas menuju lokasi KKN tanggal 15 Juli 2016. Sambutan hangat dari Kodim Pendolo kami dapatkan sesampai di sana. Setelah diberi pengarahan, waktunya berpisah untuk mengabdi di desa masing-masing. 

Saya bersama 10 teman mendapatkan posko di Desa Dulumai Kecamatan Pamona Puselemba. Posko KKN yang paling jauh dari kecamatan, tidak ada jaringan internet juga listrik dan harus menggunakan perahu sebagai sarana transportasi. 
Jalur menuju lokasi KKN
Menggunakan katinting menuju Desa Dulumai
Setiba di posko KKN, semua stereotip tentang Poso pun hilang. Tak ada lagi perasaan cemas. Meskipun, beberapa daerah masih diberi garis hitam karena ada tindakan terorisme. Tapi, daerah lainnya hidup aman dan tentram. 

Di desa saya masyarakatnya damai, semuanya saling menghargai satu sama lain. Kami yang berasal dari latar belakang suku, agama dan ras yang berbeda seolah tak ada penghalang untuk berbaur dengan masyarakat. 
Gapura Desa Dulumai
Hal ini terlihat saat teman-teman KKN saya yang muslim hendak pergi beribadah Salat Jumat. Masyarakat desa yang 100% Kristen Protestan menjalin toleransi dengan baik. Mereka mengantar teman yang ingin beribadah dengan mobil ke Kota Tentena, ibukota kecamatan. Kalaupun tak ada mobil, pasti ada pinjaman motor. 

Tak hanya itu, kemurahan hati masyarakat juga terlihat saat mengadakan upacara penyambutan kami di Balai Desa. Upacara Mo’limbu dilakukan ketika ada tamu yang datang ke desa dan akan tinggal dalam waktu yang lama. 

Dalam upacara ini, semua masyarakat harus berkumpul serta membawa makanan ke Balai Desa. Tujuannya untuk makan bersama. Setiap keluarga juga menanggung makanan untuk satu tamu.
Acara Mo'limbu menyambut kami mahasiswa KKN 
Saat makan bersama, rasa haru seketika muncul. Kami pendatang dan diperlakukan layaknya keluarga. Tanpa memandang perbedaan, semua masyarakat bersukacita menyambut kami mahasiswa KKN.

Selama berada di Desa Dulumai, kami mengikuti dua kali upacara Mo’limbu. Pertama, saat disambut sebagai mahasiswa KKN pada 24 Juli 2016. Selanjutnya, penyambutan pejabat sementara kepala Desa Dulumai. Kami selalu senang ikut kegiatan ini karena suasana kekeluargaan yang terjalin begitu erat.
Foto bersama Kepala Desa Dulumai dan Babinsa
Tak hanya penyambutan tamu, saat panen pun diupacarakan. Setiap tahun, diadakan satu kali perayaan syukur atas hasil panen. Perayaan ini dinamakan Pa’dungku. 

Pa’dungku diadakan di beberapa desa di Kota Poso. Awalnya dimulai dengan perayaan syukur di tempat ibadah, seperti gereja. Setelahnya, ada kunjungan ke rumah masyarakat desa. Semua orang bebas berkunjung ke rumah manapun.
Masak-masak persiapan Pa'dungku
Saya sempat mengikuti pa’dungku di dua desa. Di lokasi KKN saya, Desa Dulumai dan Desa Kelei yang berada di Kecamatan Pamona Timur. Saat pa’dungku, setiap kerabat dan sanak keluarga dari masyarakat desa datang berkunjung. Semuanya bersukacita dengan makan bersama. Tak hanya makan, saat pulang pun diberi bungkusan untuk keluarga di rumah.

Poso, bukanlah kota teror lagi. Kota ini kental dengan adat istiadat dan budayanya yang patut kita lestarikan bersama. 

Selain syukuran yang menjadi budaya di desa, saat berkunjung ke suatu tempat pun ada aturannya. Selayaknya sebagai pendatang, jika ingin berpergian harus melapor di ketua adat terlebih dahulu. 


Danau Poso, ikon wisata
Mendengar nama Poso, pasti masih banyak orang yang tau tempat ini menyembunyikan surganya. Danau Poso yang membentang di antara Kecamatan Pamona Puselemba jadi pesona utama. Danau tebesar kedua di Indonesia ini sangat indah, dengan pasir putih dan yang air jernih. Saat musim hujan tiba, air dari danau ini tidak pernah keruh. Keunikan danau ditambah dengan adanya fauna endemik yaitu ikan sugili. 

Keberadaan Danau Poso sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berbagai mata pencaharian hadir lewat anugerah alam ini. Masyarakat di desa saya dominan jadi nelayan juga petani. Setiap harinya, masyarakat pergi memancing di danau. Kami juga sering ikut memancing, terlebih saat keuangan menipis. Lauk sehari-hari pun diambil dari hasil pancingan.
Mancing mania mantap bersama anak-anak desa
Danau Poso yang begitu luas dapat kita sebrangi dengan menggunakan perahu. Masyarakat menyewakan perahu kecil alias katinting sebagai sarana transportasi. Jika ingin pergi ke Kota Tentena, cukup mengeluarkan biaya 40.000 rupiah. Dengan perjalanan 1,5 jam pemandangan sekeliling danau terbukti memanjakkan mata. 

Ada juga beberapa tempat wisata lainnya di Desa Dulumai. Banyak turis berdatangan hanya untuk melihat Batu Kura-Kura dan juga Batu Terapung yang berada di tengah Danau Poso. 

Batu kura-kura
Konon katanya, keberadaan batu kura-kura diyakini berasal dari sebuah keluarga yang terpisah saat bencana yang terjadi di desa. Sedangkan, Batu Terapung dianggap jadi tempat yang unik karena meskipun air laut sedang pasang, batu ini tidak akan pernah tenggelam.          

Tak hanya itu, ada juga Air Terjun Saluopa. Air terjun ini sangat indah karena memiliki 12 tingkat. Tak perlu khawatir saat berjalan di air terjun, batunya tidak licin jadi kecelakaan pun jarang terjadi.
Pemandangan Air Terjun Saluopa 
Masih banyak tempat wisata di Poso, namun tak semua saya kunjungi. Ada Taman Anggrek, Taman Nasional Lore Lindu, Air Terjun Sulewana, Gunung Biru, Batu Megalitik dan lainnya.

Luasnya hamparan hutan juga tak henti-hentinya membuat saya mengucap syukur atas indahnya ciptaan Tuhan. Hijaunya alam menyisipkan rasa ingin kembali di hati kecil ini. Semoga keindahan ini selalu abadi. 

Poso indah, aman, tentram dan damai.
Saya cinta Poso. Sintuwu Maroso.

Penuh cinta,
Mahasiswa KKN NKRI Poso
 Gelombang 93 Unhas
Fransiska Sabu Wolor

Ekspedisi, Perjuangan Akhir Menjadi Anggota P.A.L Unhas

Ini tulisan yang tersimpan di draft sejak 2014. 
Wah, luar biasa baru membaginya saat 2020. 

Cerita ini mengenai bagaimana saya bersama dua saudara seperjuangan menyelesaikan tahapan pengaderan di organisasi pencinta alam Fakultas Kehutanan Unhas, Pandu Alam Lingkungan (P.A.L) 


Saat itu, di tahun 2014 sebagai anggota muda P.A.L Unhas, saya, Asdar dan Riska harus melaksanakan sebuah kegiatan ekspedisi sebagai syarat menjadi anggota penuh organisasi. 

Ekspedisi mirip dengan riset sederhana. Kami merancang sebuah penelitian, lalu mengambil data di lapangan dan harus dipresentasikan hasilnya di hadapan para anggota P.A.L, dosen  juga organisasi pencinta alam lainnya. Woowwwwww....

Di tahun pertama kuliah, saya bersama dua orang kawan ini kebingungan. Harus meneliti apa yah? Di tengah kemampuan survei, metode pengambilan data dan cara mengolah data yang masih sangat minim. Belum lagi pengetahuan tentang mengurus administrasi sebelum kegiatan yang carut marut. 

Membuat kegiatan ekspedisi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Dengan latar belakang pengalaman berorganisasi saat SMA, juga sharing ilmu dengan berbagai senior dan dosen akhirnya kami memutuskan mengambil data di Gua. 


Melakukan ekspedisi gua dengan personil yang hanya tiga orang. Sungguh ironis. Banyak yang meremehkan. Tapi, di sisi lain juga merasa kasihan dan ikut menolong. Sekedar informasi, di tahun sebelumnya senior saya Gladimula 19 melaksanakan ekspedisi yang sama dengan jumlah anggota tujuh orang. 

Saya, Asdar, Riska (Dari kiri ke kanan)
Jujur saja, kuantitas yang berbanding jauh ini kadang membuat kami bergantian patah semangat. Syukurnya, tekad belajar yang besar selalu mampu membangkitkan harapan. 

Saat itu, kami akan melakukan Ekspedisi Gua di Kabupaten Pangkep yang merupakan salah satu kawasan karst terbesar di dunia setelah Cina. Data yang diambil sangat sederhana, hanya pemetaan dan idenfikasi ornamen juga fauna gua. 


Kami mulai merancang kegiatan bersama dua orang senior. Ada kak Kia dan kak Wahyu, keduanya Gladimula 17. Mereka saling berbagi tugas. Kak Wahyu sebagai pengarah untuk kegiatan teknis (technical advisor) dan Kak Kia untuk kegiatan yang berhubungan dengan data atau sains (science advisor). 


Ekspedisi ini dimulai pada bulan Juli 2014. Molor satu bulan dari perencanaan awal karena kemampuan manajemen waktu kami yang masih buruk. Dimulai dengan Presentasi Awal. Kami mempresentasikan rencana kegiatan ekspedisi di hadapan berbagai kalangan. Ada senior, dosen, beberapa ahli gua juga organisasi pencinta alam lainnya. 



Suasana Presentasi Awal Ekspedisi Troglophile, 
Kami menamakan ekspedisi ini Troglophile, yang merupakan salah satu kelompok fauna yang hidup di dalam gua namun juga terdapat di luar gua. Dengan harapan agar kami sebagai anggota baru Gladimula 20 bisa membawa sesuatu yang baik dari luar untuk  P.A.L dan juga mengaplikasikan ajaran yang baik dari organisasi sebagai bekal hidup di luar sana. 

Dalam presentasi awal ini, kami memaparkan rencana untuk mengambil data di Gua Marakallang yang terletak di Desa Tompobullu, Kecamatan Ballocci, Kabupaten Pangkep. Sebuah gua yang menjadi sarang kelelawar dan jarang dimasuki orang, kecuali beberapa warga setempat yang ingin mengambil kotoran kelelawar  juga ikan serta beberapa fauna gua lainnya. 


Berbekal saran-saran yang diberikan saat presentasi awal, akhirnya kami berangkat mengambil data di Gua Marakallang pada bulan September. Selain melalui proses presentasi awal, sebelumnya kami telah melakukan latihan fisik, materi dan simulasi ekspedisi.

Latihan fisik sebelum kegiatan ekspedisi
Data ekspedisi diambil selama 5 hari penuh di lapangan. Mulai dari tanggal 2 September 2014. Dengan menggunakan Mobil Pick Up, kami, kak Wahyu juga kak Kia berangkat dari Kampus Unhas, Makassar diantar oleh kak Takke bersama kak Leny dan kak Riska menuju ke Kabupaten Pangkep. 
Foto bersama sebelum berangkat ekspedisi bersama para warga P.A.L
Perjalanan menuju Gua Marakallang ternyata tidak mudah. Kondisi jalan yang tidak bagus membuat mobil tidak bisa mengantar hingga ke mulut gua. Tim ekspedisi pun menginap di rumah salah seorang warga dan para pengantar kembali ke Makasar. 

Keesokan harinya, tim harus berjalanan selama kurang lebih 2 jam untuk mencapai mulut Gua Marakallang. Setelahnya membangun camp dan mengatur peralatan. Memisahkan alat yang digunakan selama di camp, dapur, pengambilan data juga saat harus mengolah data. Seharian dihabiskan untuk beres-beres dan menyusun rencana pengambilan data besok. 
Kondisi jalur menuju Gua Marakallang
Kondisi jalur menuju Gua Marakallang
Selama pengambilan data, Asdar selaku Komando Lapangan membagi tugas agar tim kami dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Saya dan Asdar sebagai orang yang memetakan gua,  sedangkan Riska bertugas mengidentifikasi ornamen dan fauna gua serta mengambil dokumentasi selama pengambilan data. Selain menjadi pemimpin tim, tugas Asdar juga bertambah untuk menggambar sketsa gua.

Pengambilan data selalu dimulai pagi hari setelah sarapan, bersih-bersih dan juga olahraga singkat. Lalu diakhiri di siang ataupun sore hari. Kami masuk gua membawa beberapa cemilan juga air sehingga tidak perlu khawatir perut akan merasa lapar. 

Jalur di dalam Gua Marakallang
Gua Marakallang memiliki bentuk yang sangat unik. Mulut guanya yang sangat kecil dan jalur di dalam gua yang kombinasi, ada horizontal juga vertikal. Gua ini memiliki aula (chamber) yang sangat luas sekali dan menjadi sarang kelelawar. Tak hanya itu juga ada sungai di dalam gua, sehingga untuk menyusurinya kami menggunakan pelampung sebagai pengaman juga masker sebagai bahan perlindungan dari betapa menyegatnya bau kotoran kelelawar (guano). 
Tampak di mulut Gua Marakkallang, kelelawar keluar di sore hari
Setiap selesai mengambil data, kami melakukan briefing di malam harinya. Pada saat itulah dua pendamping kami, kak Kia dan kak Wahyu menemai mengolah data sambil menanyakan perkembangan ataupun kesulitan yang kami alami selama berada di dalam gua. Setelah sesi ini berakhir, istirahat pun tiba ditemani doa yang terpanjatkan ke sang kuasa agar kami selalu sehat hingga akhir pengambilan data. 
Suasana briefing di malam hari
Lima hari berturut-turut mengambil data, waktunya kami pulang dan bersiap mempresentasikan hasil riset kami di lapangan. Selama ekspedisi, kami menemukan beberapa fauna gua juga ornamennya. Jika ada yang butuh diskusi lebih lanjut, soal data ini boleh menghubungi saya. 
Cari jaringan sambil menunggu jemputan
Kami bersiap membereskan kemah, lalu berjalan dan menunggu  dijemput dengan Mobil pick up. Kembali ke Basecamp Pandu Alam Lingkungan Unhas disambut dengan gembira oleh para senior. Akhirnya tim ekspedisi selamat juga hidup di gua cuma berlima tanpa jaringan dan listrik. Sangat seru sekali! 


Suasana upacara penutupan kegiatan Ekspedisi Troglophile
Proses ekspedisi kami pun sampai di presentasi akhir. Pemaparan data yang telah didapatkan di lapangan kepada berbagai undangan. Begitu banyak lika-liku, tawa tangis dan berbagai hal selama proses membuat kegiatan ekspedisi ini. Sekarang saya menyadari semua itu adalah proses belajar yang baik selama kuliah. 

Data Ekspedisi Troglophile ini saya kembangkan menjadi skripsi. Saya meneliti khusus kelelawar yang ada di Gua Marakallang. Perasaan saya akan sangat senang jika ada yang ingin berbagai mengenai penelitian di gua. 


Terima kasih Pandu Alam Lingkungan. 

Telah menjadi rumah. 
Tempat salah dan belajar menjadi lebih baik.
Terima kasih Gladimula 20.

Telah menjadi saudara yang mengajarkan indahnya perjuangan. 
Tempat menjadi diri sendiri. 


Jaya di Hutan, Jaya di Gunung, Jaya Akademika



Penuh cinta, 
Fransiska Sabu Wolor






 

Semangat Baru

Saya sekarang sudah jarang sekali menulis. Semenjak tamat kuliah dan tidak ada kewajiban menghasilkan tulisan yang harus terbit di Koran Kampus identitas Unhas, semangat ini makin merosot. Terkadang rasanya kisah-kisah yang dijalani lebih mudah jika ditulis di akun sosial media seperti Instagram ataupun Facebook. Lebih sering dibaca orang dan senang saja menghabiskan waktu larut dalam dua akun tersebut. 

Sekarang tiba-tiba rindu  menulis panjang. Apalagi saat ini, Indonesia sedang menghadapi pandemi Corona Virus. Masyarakat disarankan untuk #dirumahaja agar tidak memperparah kondisi penyebaran virus. Sebagai anak yang belum punya kerjaan tetap, yah sudah seharusnya saya di rumah mengikuti aturan pemerintah. 

Selasa ini, tepat hari ke 10 saya di rumah. Bosan sekali rasanya. Setiap mengakhiri hari saya selalu merancang apa yah yang harus dilakukan esok hari agar hidup tetap produktif walau hanya di rumah. Semangat melakukan hal baru saya mulai dengan belajar memasak. Yah, tidak muluk-muluk masakannya. Hanya mengolah sayur yang kebanyakan jadi bening ataupun ditumis. Pun lauk yang kadang-kadang ikan goreng, tempe tahu goreng dan perkedel jagung. 

Memasak akhirnya menjadi hobi baru. Diperkuat dengan kondisi rumah yang hanya tersisa saya dan Abang. Mama sekarang tidak tinggal bersama kami di Makassar. Ia ikut pulang kampung ke Lembata, NTT bersama Bapa dan Ael, keponakan saya. Berhentilah rantai kemalasan saya yang apa-apa mengharapkan mama. Sekarang harus mengerjakan semuanya sendiri. Dan, akhirnya saya mulai menikmati hidup mandiri ini. 

Sama seperti memasak yang menjadi hobi baru, bersih-bersih rumah juga menyeret saya untuk membiasakannya. Karena kalau bukan saya yang lakukan, yah siapa lagi? Hahahhaha. Memasak dan bersih-bersih rumah kini jadi rutinitas. 

Tadi malam sebelum mengakhiri hari, saya berpikir. Coba hal baru apalagi yah? Rasanya kalau cuma bangun, bersih-bersih, masak, makan, olahraga sedikit, mandi lalu tidur sangat membosankan. Menghabiskan waktu dengan online di berbagai sosial media pun tidak banyak manfaatnya. 

Angan berlabuh pada ide "Bagaimana jika membangkitkan kembali semangat menulis?" Rasanya sudah banyak hal yang terlalui dan belum terbagi. Mana tau ada yang butuh semangat pun ingin berbagi asa bersama. 

Lewat tulisan ini, saya bertekad menghidupi semangat baru. 
Kembali menulis dan berbagi cerita melalui blog sederhana yang sangat jarang diisi. 

Mari kita saling menyemangati di tengah cobaan pandemi yang menimpa berbagi negara di dunia. Semoga kita selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan. 

Saya titip semangat memulai hal baru #dirumahaja untuk para tenaga kesehatan dan para pekerja yang berjuang #diluarrumah demi kondisi Indonesia yang lebih baik. 
Semoga Covid-19 segera berlalu. 
Tuhan beserta kita semua. 

Penuh cinta, 
Fransiska Sabu Wolor 



Meniti Alam untuk Pendidikan




            Sikola…….
            Sikola…….

            Teriakan ini dilontarkan oleh seorang relawan sambil memukul pentungan. Ini menandakan sekolah akan dimulai dan para siswa harus bergegas datang. Mendengar panggilan, anak-anak langsung berlari riang gembira. Akhirnya, bisa mencicipi lagi pengetahuan.
            Relawan Sikola Inspirasi Alam (SIA) inilah yang datang mengajar di Kampung Lappara Dusun Bonto Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah. Saat itu, ada 15 orang relawan yang datang. Tepatnya tanggal 22 September 2016, kami sampai di lokasi. Butuh waktu 6 jam perjalanan dari Kota Makassar untuk sampai di Desa Kompang dengan menggunakan mobil.
            Setelah sampai, kami tidak langsung mengajar. Harus jalan kaki satu setengah jam lagi untuk mencapai Kampung Lappara. Jalur yang begitu menanjak, sering sekali membuat keluhan terlontar. Angan pun melayang ke pernyataan “Untuk apa jauh-jauh jalan demi mengajar?”


Istirahat saat perjalanan menuju Kampung Lappara

            Namun, sesampainya di lokasi. Pikiran ini benar-benar hilang. Lappara sangat indah dan damai. Hamparan sawah dan megahnya bukit tak henti memanjakan mata. Belum lagi masyarakat di sana sangat baik dan ramah.
            Tak sampai di situ, kondisi sekolah memang sangat memprihatinkan. Semuanya serba sederhana. Hanya terbuat dari bambu. Fasilitas sekolah juga hanya kursi, meja dan papan tulis. Di atas papan tulis, hanya ada foto presiden dan wakil presiden Indonesia dan beberapa poster Pancasila dan alfabet. Sungguh serba terbatas.
            Hari pertama di Kampung Lappara, kami tak langsung mengajar. Kami tiba saat hari sudah mulai sore dan dihabiskan untuk mengatur posko. Di sana tak ada listrik, program kerja pertama ialah bertahan hidup. Untung saja, kawan lain sudah menyediakan alat penerangan. Memasak pun harus menggunakan kayu bakar. Begitu jauh perbedaannya dengan fasilitas ada di kota.
            Selesai makan malam, kami breafing mengenai persiapan mengajar di sekolah esok hari. Saat itu, kami sepakat mengadakan upacara terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dari relawan dan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika.
            Keesokan harinya, kami mengadakan upacara. Tepat pukul 08.00 Wita, pentungan dibunyikan lagi. Setelah satu bulan berlalu, akhirnya September ini sudah ada relawan baru yang datang mengajar. Relawan SIA diberangkatkan setiap satu bulan dan hanya empat hari di lokasi.
            Upacara kali ini berbeda dengan bulan sebelumnya. Kini, pelaksana upacara sudah ada dari siswa. Ada Hasra yang menjadi protokol dan Asri sebagai pembaca undang-undang. Mereka yang bertugas ini sudah masuk kelas lanjutan. Kali ini, upacara kami adakan hari Jumat. Maklum saja, relawan SIA selalu datang di hari Kamis.

Upacara bendera siswa Sikola bersama para relawan

            Setelahnya, perkenalan dengan anak-anak dimulai. Banyak yel-yel semangat yang diajarkan agar siswa tak jenuh belajar. Saat belajar, siswa bebas memilih dimana saja tempat belajarnya dan siapa yang mengajarnya. Ada siswa yang menarik kakak relawan belajar di bawah pohon, di rumahnya atau tetap di kelas. Bahkan ada yang harus dikejar-kejar dulu baru mau belajar.
            Siswa yang ikut sekolah digolongkan dalam tiga tingkatan kelas, yakni kelas awal, menengah dan lanjutan. Saat mengajar, saya mendapatkan siswa dari kelas awal. Dia belum bisa membaca dengan lancar. Menulis pun harus dieja kata perkata. Kesabaran yang ekstra sangat dibutuhkan. Apalagi ketika serius mengajar, siswa malah lebih tertarik bermain.
Suasana belajar di Sikola

Para relawan sedang mengajar

            Mendapati situasi seperti ini, saya harus menggunakan taktik. Kami belajar dulu dan setelah ia sudah bisa, saya akan menemani kemanapun atau bermain apapun. Alhasil, seusai membaca dan menulis kalimat yang saya buat, Riski siswa saya mengajak lomba lari. Wah, luar biasa sekali. Sudah capek belajar, malah diajak lari bersama.
            Jika tak dipenuhi kemauannya, dia akan malas belajar pelajaran selanjutnya. Tarik napas dalam-dalam, lalu kami lari. Jauh, jauh sekali dan saya kalah. Wajar saja, pendatang baru. Heheheee.

Belajar berhitung bersama Riski

            Pelajaran selanjutnya, saya mengajar cara menghitung dengan napas ngos-ngosan akibat kalah lomba lari. Saya mengajarkan bagaimana cara menjumlahkan dan mengurangkan bilangan. Hingga pukul 11.00 kami belajar. Sekolah dilanjutkan pada sore hari untuk pelajaran Agama. Para siswa akan diajarkan cara shalat, wudhu dan bacaan surah-surah pendek.
            Malam hari, kami mengevaluasi hasil mengajar. Ada beberapa strategi yang dibuat agar siswa tidak jenuh belajar. Selain itu, metode belajar seperti privat membuat siswa juga lebih mudah mengerti.
            Esoknya di hari Sabtu, sekolah kembali lagi mulai pukul 08.00 Wita. Hari ini ditambahkan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan diselingi dengan permainan. Siswa disuruh mengambil batu dan daun yang ia tau nama pohonnya. Setelahnya, kita menghitung bersama jumlah daun dan batunya. Lalu, dikurangi lagi dan dibagi. Permainan ini menggunakan benda-benda yang gampang didapat supaya memudahkan siswa memahami Matematika.
Foto dulu sebelum kelas berakhir
            Sekolah diakhiri dengan kelas kreatif yang berlangsung sore hari. Saat itu, siswa dibagi menjadi dua kelompok. Perempuan diajar menggambar dan mewarnai. Sedangkan, laki-laki diajak membuat gantungan pakaian dari bambu.
            Setelah penat mengajar, kami para relawan melepas lelah dengan berkemah di Puncak Bukit Patontongan. Bukit ini terletak tidak jauh dari kampung. Butuh waktu satu jam untuk mencapainya. 
Kelas kreatif menggambar dan mewarnai


Outbound permainan lipat sarung
Makan malam di Bukit Patontongan

            Perjumpaan dengan siswa SIA harus kami akhiri. Di hari terakhir, ada outbound yang dilakukan. Ada permaianan lipat sarung dan estafet piring yang dibuat. Saat itu, kami bermain bersama para siswa. Rasanya senang sekaligus sedih akan berpisah.

            Minggu siang, kami bergegas kembali ke Makassar. Adik-adik ramai di posko melepas kepergian kami. Tangisan tumpah dari seorang siswa membuat berat sekali meninggalkan sekolah. Tapi, tenanglah bulan depan kami datang lagi.
            Yah, memprihatinkan sekali rasanya. Saat siswa lainnya mengecap bangku sekolah selama 24 hari dalam sebulan, siswa SIA hanya merasakan 2 hari saja dalam sebulan. Tanpa fasilitas, buku yang lengkap dan tenaga pengajar tetap 
pula.
            Kamu terdidik? Buktikan dengan membagi ilmu pengetahuanmu.

Relawan Sikola Inspirasi Alam angkatan V



Penuh Cinta, 

Fransiska Wolor
Relawan angkatan V
Sikola Inspirasi Alam (SIA)