Kegiatan ini saya ikuti bersama 26
kawan yang memiliki hobi sama. Kami tidak berasal dari satu tempat, ada yang
memang sudah memiliki dasar ilmu Kehutanan dan ada yang hanya berbekal ilmu
pencinta alam. Bosan hidup dengan rutinitas kota, kami menepi sejenak menjelajah
alam dan melihat kehidupan di rimba.
Melalui kegiatan Wisata Rimba
(WISRIM) ke sepuluh yang diadakan oleh Pandu Alam Lingkungan (P.A.L) Badan
Eksekutif Keluarga Mahasiswa Kehutanan Sylva Indonesia (PC.) Unhas, kami menjelajahi
kawasan karst Maros-Pangkep-Barru.
Di sini kami belajar tentang cara hidup
alam serta sosial budaya penduduk lokal. Selama 6 hari bersatu dengan rimba, yakni
Kamis-Selasa (14-19/8) kami menyusuri alam dan bersosialisasi dengan masyarakat
setempat.
Tepatnya ketika berada di Dusun Labaka
Desa Bulo-Bulo Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru pada tanggal (18/8) kami
mengunjungi salah satu suku yang dikenal dengan nama Tobalo.
Eksis dalam tracking |
Tobalo
ini memiliki arti orang belang. Berdasarkan histori yang berkembang, keberadaan
suku Tobalo ini tidak lepas dari mitos-mitos. Ada dua mitos yang berkembang di
masyarakat. Mitos pertama, menyebutkan bahwa asal mula suku Tobalo ini ialah alkisah di suatu tempat
ada sepasang suami dan istri yang belum memiliki anak, kemudian sang istri
bertemu dengan kuda yang memiliki kulit belang, lalu secara spontan ia berdoa
kepada Tuhan dikarunikan seorang anak meskipun kulitnya belang seperti kuda.
Selain itu, mitos kedua mengenai suku Tobalo
ini ialah adanya seorang lelaki yang memiliki kulit belang yang suka
menganggu istri orang. Suatu ketika, suami dari sang istri ini pergi berkerja
di sawahnya kemudian sang lelaki belang datang menganggu istri dari suami yang
ke sawah ini. Alhasil, sang suami datang lalu marah dan menuduh istrinya.
Istrinya pun akhirnya bersumpah jika memang saya selingkuh maka anak saya nanti
akan berkulit belang sama seperti lelaki itu.
Namun, keberadaan suku Tobalo ini sebenarnya dikarenakan faktor
gen, karena ketika orang Tobalo
menikah dengan manusia dengan kuliat biasa, anaknya tidak Tobalo.
Kala itu, sekira pukul 16.00 WITA, saya
bersama 10 orang lain datang berkunjung ke rumah suku Tobalo. Kami ditemani oleh kepala Desa. Di sini saya menemuk
Keluarga tobalo bersama peserta WISRIM |
Orang belang ini sebenarnya bukan suku
lagi karena sekarang hanya ada 5 orang dalam satu keluarganya. Kelimanya
terdiri dari ayah, ibu dan 3 orang anak yaitu Nurlaela, Sutrisna, dan Sopyan. Namun,
yang kami temui ketika berkunjung hanyalah sang ibu dan kedua orang anaknya
Nurlaela dan Sopyan. Ayah dari keluarga ini kala itu pergi bekerja memanen
cengkeh di Palopo bersama kepala keluarga lainnya yang berada di desa itu.
Sedangkan, anaknya Sutrisna telah berkeluarga dan sekarang tinggal di Mamuju
bersama suaminya.
Suatu pandangan berbeda saya temukan
ketika berbincang bersama kedua anak Tobalo
ini, Nurlaela yang duduk di kelas V SD sering merasa minder karena sering
dicela kulitnya oleh teman-temannya. Anak ini ketika diajak bercakap agak
takut, ia selalu melihat sinis kepada semua orang. Berbeda dengan Sopyan yang
belum bersekolah, dirinya lebih sedikit terbuka jika diajak berinteraksi.
Keterasingan dari anak-anak Tobalo ini juga terlihat dari jarangnya
bergaul di luar rumah. Mereka lebih sering berdiam diri di dalam rumah dan
membuat gambar-gambar di dinding. Gambar antar dua orang bercakap dan beberapa
gambar abstrak lainnya.
Namun, ada kejanggalan tersendiri yang
saya temui dalam kunjungan kali ini. Warga sekitar menjadikan orang Tobalo ini sebagai objek wisata.
Sehingga ketika berkunjung, suku ini juga terbiasa diberikan imbalan entah
berupa materi ataupun sandang pangan. Sehingga, ini juga menjadi sumber
penghasilan bagi orang Tobalo.
Hal ini juga kami lakukan ketika datang
berkunjung, membawa bekalan materi dan bahan makanan untuk keluarga Tobalo. Bahkan, saya melihat bahwa anak Tobalo juga dipaksa berfoto bersama demi
mendapat imbalan uang nantinya. Pernah terungkap dari mulut sang ibu “Ayo cepat
foto, kalau tidak mau sebentar tidak dapat bagian,”
Selain itu, orang Tobalo ini sangat sensitif terhadap apapun. Sebisa mungkin jangan
tertawa keras jika berkumpul bersama orang Tobalo
karena mereka akan merasa bahwa ia ditertawai. Jangan sekali-kali juga
mengucapkan kata Tobalo jika berkunjung. Sebaiknya sapa saja mereka
dengan sebutan bapak ataupun ibu.
Mengenal orang Tobalo ini mengubah pandangan kami. Awalnya kami berpandangan suku
ini terasingkan, menutup diri dan sangat sensitif. Padahal, mereka juga mampu
diajak berkomunikasi dengan baik. Dilihat dari mata pencahariannya, orang Tobalo ini juga bersawah sama seperti
keluarga lainnya di desa itu.
Tak hanya mengunjungi suku Tobalo,
kegiatan menjelajah alam kami juga melakukan aksi sosial lainnya. Ada pelatihan
pembuatan pupuk kompos dilakukan oleh senior saya Rezkiyanto Manggala dan Nur
Zaman. Kala itu warga terlihat bersemangat sekali, namun karena hanya sedikit
kemampuan bahasa Indonesia yang dimiliki warga setempat alkisah pelatihan ini diterjemahkan
dalam bahasa Bugis.
Selain itu, antusiasme warga dalam
menyambut kami juga terlihat dalam partisipasi penanaman beberapa jenis pohon
di lahan warga dan pembagian bibit. Sekira, 100 bibit yang terdiri dari bibit ki
hujan, sengon, jati putih, mahoni dan rambutan ludes diangkut warga untuk
ditanam di lahannya masing-masing.
Inilah kisah berwisata di rimba,
mengintip masuk kehidupan masyarakat pedesaan, sesaat bersatu dengan alam agar
mampu mendengar jeritannya dan saat kembali pulang ku tuliskan kisahnya, agar
dunia tau alam yang hijau beserta isinya ini tidak sedang baik saja.
Fransiska
Sabu Wolor