Meine

My life, My adventure, My story..

Pages

Ahmadiyah, Teguh Walau Ditindas


         
      Siang itu di pengungsian Transito, beberapa anak sedang berkejaran memainkan sebuah gabus bekas pembungkus barang elektronik. Mereka larut dalam keasyikan dunia kanak-kanak. Tiba-tiba, seorang yang jauh lebih tua dari anak-anak itu muncul menyambut kami dan mengajak ke tempat peribadatannya (mushola, red).
        Dengan antusias, amaq Sahidin (49), seorang yang menjadi pengurus Ahmadiyah di Lombok ini berbagi pilu. Dirinya berbagi kisah mengenai aliran yang dianut.
            Kisah mengenai asal usul Ahmadiyah, mulai dari awal masuknya ke Indonesia hingga sampai di Lombok fasih dituturkan. Ahmadiyah dijadikan kelompok minoritas di antara umat Muslim. Pandangan akan ajaran kaum ini berbeda dari segi kitab dan syahadat membuat tak sedikit masyarakat mengucilkan.“Kami juga menggunakan Al-Quran sebagai kitab dan tidak pernah mengganti syariat Islam,” jelas Syahidin dalam pertemuan di Masjid, Selasa (5/5).
            Namun, pernyataan ini tak mudah diterima oleh masyarakat sekitar. Hal ini terjadi kala tahun 1972 Ahmadiyah mulai masuk di daerah Solong, Lombok Timur. Saat kedatangan aliran ini ke Lombok, tidak luput dari kecaman dari berbagai pihak.
            Naasnya, pada tahun 2001 gesekan kembali marak bermunculan. Ajaran ini dianggap berbeda hingga akhirnya dipaksa keluar dari Selong. Kisah ini terkuak dari seorang warga Transito, Asisudin (55) yang saat itu sedang duduk di sebuah lasah samping warung milik istrinya. Kepala keluarga yang memiliki tiga anak ini terpaksa meninggalkan Solong menuju Ketapang pada tahun 2002  untuk mempertahankan kepercayaannya.
            Tak hanya itu, penindasan yang dialami Asisudin dan beberapa kepala keluarga lain tidak berakhir di situ, Ketapang tak menjadi rumah terakhir bagi keluarganya. Memiliki paham yang berbeda membuat ia hidup nomaden. Pada tahun 2006, terjadi penyerangan besar-besaran di Ketapang. Puluhan rumah rusak, orang-orang disiksa dan dipaksa keluar dari Ketapang.
            Berpindah tempat lagi, tak membuatnya putus asa. Diasingkan ke Transito, Majelok, Kota Mataram, membuat ia sedikit lega. Tempat yang tidak terlalu luas ini menjadi satu-satunya harapan hidupnya dan 27 kepala keluarga lain.
            Lahan yang dulunya dijadikan tempat transmigrasi ini lambat laun menjadi milik Ahmadiyah. Banyaknya keluarga yang berdomisili di Transito membuat tempat ini dikenal sebagai tempat pengusingan masyarakat beraliran Ahmadiyah.
            Asisudin menerangkan bahwa warga Majelok menerima keberadaan mereka dengan baik. Selama sembilan tahun tinggal bersama tak ada gesekan yang terjadi di antara mereka. Menurutnya setiap orang harusnya menerima perbedaan yang ada terutama dalam hal keyakinan. “Harusnya masyarakat memiliki wawasan luas mengenai perbedaan itu sendiri,” tutur Asisudin seraya menyesap kopi hitam yang disajikan istrinya.
            “Bukan karena berkali-kali diusir dan dikucilkan yang membuat kami sedih, melainkan bagaimana pemahaman masyarakat yang mudah dipengaruhi yang saya kecewakan,” tambah Asisudin saat diwawancarai di depan rumahnya, Selasa (5/5).
            Keberadaan kaum Ahmadiyah yang sudah lama ini tak serta merta membuat masyarakat seutuhnya menerima. Nur Aini Syahidah, anak yang tinggal di  Transito mengalami diskriminasi di sekolahnya. Siswi SMP Negeri 16 Mataram ini dulu sering dikucilkan ketika duduk di tingkat akhir Sekolah Dasar.
            Aini bercerita bahwa teman-temannya yang tau bahwa ia penganut Ahmadiyah sering mencemooh dirinya. “Kamu nabinya bukan Muhammad,” kata Aini menirukan olokan temannya.
            Menanggapinya, gadis berumur 13 tahun ini membalas dengan belaan mengenai ajaran yang ia pahami. “Saya biasanya menjelaskan bahwa nabi kita itu juga Muhammad, kita juga pakai Al-Quran dan memakai syariat Islam,” tuturnya.
            Menurut Aini, setelah melalui perdebatan, biasanya temannya akan capek dan takut terlebih ketika diancam akan membawakan Mubaliq (Ustad, red) untuk menjelaskan Ahmadiyah.  Sehingga, Aini tak pernah takut ketika diolok lagi oleh temannya.
            Berbeda dengan Aini, siswa kelas 5 SD, Azmi malah pernah pindah sekolah hanya karena diolok oleh teman-temannya. Ketika berada di SD Negeri 27 Mataram, Azmi sering sekali diolok dan dipukul oleh temannya karena menganut aliran Ahmadiyah. “Dulu waktu kelas 2 SD saya pindah sekolah karena tidak suka diolok sama teman,” ungkap Azmi yang kami temui ketika asyik bermain di halaman rumahnya.
            Setelah pindah di SD Negeri 42 Mataram, Azmi memiliki 15 teman yang juga menganut aliran Ahmadiyah sehingga dirinya tidak takut. “Sekarang saya tidak mau pindah sekolah lagi, di sini sudah banyak teman,” tutup Azmi mengakhiri perbincangan kami.
            Meskipun sudah merasa baik hidup di Transito, beberapa masyarakat ada masih tetap tetap ingin kembali ke kampung halaman. Inaq Ida Masna (41) menceritaka hal ini ketika kami tanyakan di depan rumahnya. Saat terjadi pengusiran terhadap kelompoknya, sang ibu terpaksa berpindah dan menggadaikan tanahnya. “Saya gadaikan tanah untuk biaya hidup. Semoga nanti bisa kembali lagi dan bertani dengan lahan itu,” ujarnya saat ditemui di depan rumahnya, Selasa (5/5).
            Menurut inaq Masna, Ahmadiyah di Transito kini hidup tentram, meski dulu pontang-panting. Penindasan membuat mereka tetap teguh. Segala cobaan siap mereka hadapi demi mempertahankan keyakinan. “Berkali-kali disingkirkan dan diasingkan, kami tak kecewa. Pemahaman masyarakat yang sempit dan mudah terprovokasi yang membuat kami sedih,” tutupnya.


Tulisan ini terangkai ketika pelatihan meliput isu keberagaman, 
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)
Lombok, 4-6 Mei 2015
Fotonya kurang Kak Linda, ia naik motor soalnya ke lokasi liputan :D

Ditulis bersama kawan2 baru ; 
kak Linda (Universitas Negeri Mataram),
Monika (Universitas Mulawarman), 
kak Iksan (IAIN Ambon), 
Yus (Universitas Pendidikan Ganesha) dan Ita (UIN Alauddin Makassar).