Meine

My life, My adventure, My story..

Pages

Meniti Alam untuk Pendidikan




            Sikola…….
            Sikola…….

            Teriakan ini dilontarkan oleh seorang relawan sambil memukul pentungan. Ini menandakan sekolah akan dimulai dan para siswa harus bergegas datang. Mendengar panggilan, anak-anak langsung berlari riang gembira. Akhirnya, bisa mencicipi lagi pengetahuan.
            Relawan Sikola Inspirasi Alam (SIA) inilah yang datang mengajar di Kampung Lappara Dusun Bonto Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah. Saat itu, ada 15 orang relawan yang datang. Tepatnya tanggal 22 September 2016, kami sampai di lokasi. Butuh waktu 6 jam perjalanan dari Kota Makassar untuk sampai di Desa Kompang dengan menggunakan mobil.
            Setelah sampai, kami tidak langsung mengajar. Harus jalan kaki satu setengah jam lagi untuk mencapai Kampung Lappara. Jalur yang begitu menanjak, sering sekali membuat keluhan terlontar. Angan pun melayang ke pernyataan “Untuk apa jauh-jauh jalan demi mengajar?”


Istirahat saat perjalanan menuju Kampung Lappara

            Namun, sesampainya di lokasi. Pikiran ini benar-benar hilang. Lappara sangat indah dan damai. Hamparan sawah dan megahnya bukit tak henti memanjakan mata. Belum lagi masyarakat di sana sangat baik dan ramah.
            Tak sampai di situ, kondisi sekolah memang sangat memprihatinkan. Semuanya serba sederhana. Hanya terbuat dari bambu. Fasilitas sekolah juga hanya kursi, meja dan papan tulis. Di atas papan tulis, hanya ada foto presiden dan wakil presiden Indonesia dan beberapa poster Pancasila dan alfabet. Sungguh serba terbatas.
            Hari pertama di Kampung Lappara, kami tak langsung mengajar. Kami tiba saat hari sudah mulai sore dan dihabiskan untuk mengatur posko. Di sana tak ada listrik, program kerja pertama ialah bertahan hidup. Untung saja, kawan lain sudah menyediakan alat penerangan. Memasak pun harus menggunakan kayu bakar. Begitu jauh perbedaannya dengan fasilitas ada di kota.
            Selesai makan malam, kami breafing mengenai persiapan mengajar di sekolah esok hari. Saat itu, kami sepakat mengadakan upacara terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dari relawan dan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika.
            Keesokan harinya, kami mengadakan upacara. Tepat pukul 08.00 Wita, pentungan dibunyikan lagi. Setelah satu bulan berlalu, akhirnya September ini sudah ada relawan baru yang datang mengajar. Relawan SIA diberangkatkan setiap satu bulan dan hanya empat hari di lokasi.
            Upacara kali ini berbeda dengan bulan sebelumnya. Kini, pelaksana upacara sudah ada dari siswa. Ada Hasra yang menjadi protokol dan Asri sebagai pembaca undang-undang. Mereka yang bertugas ini sudah masuk kelas lanjutan. Kali ini, upacara kami adakan hari Jumat. Maklum saja, relawan SIA selalu datang di hari Kamis.

Upacara bendera siswa Sikola bersama para relawan

            Setelahnya, perkenalan dengan anak-anak dimulai. Banyak yel-yel semangat yang diajarkan agar siswa tak jenuh belajar. Saat belajar, siswa bebas memilih dimana saja tempat belajarnya dan siapa yang mengajarnya. Ada siswa yang menarik kakak relawan belajar di bawah pohon, di rumahnya atau tetap di kelas. Bahkan ada yang harus dikejar-kejar dulu baru mau belajar.
            Siswa yang ikut sekolah digolongkan dalam tiga tingkatan kelas, yakni kelas awal, menengah dan lanjutan. Saat mengajar, saya mendapatkan siswa dari kelas awal. Dia belum bisa membaca dengan lancar. Menulis pun harus dieja kata perkata. Kesabaran yang ekstra sangat dibutuhkan. Apalagi ketika serius mengajar, siswa malah lebih tertarik bermain.
Suasana belajar di Sikola

Para relawan sedang mengajar

            Mendapati situasi seperti ini, saya harus menggunakan taktik. Kami belajar dulu dan setelah ia sudah bisa, saya akan menemani kemanapun atau bermain apapun. Alhasil, seusai membaca dan menulis kalimat yang saya buat, Riski siswa saya mengajak lomba lari. Wah, luar biasa sekali. Sudah capek belajar, malah diajak lari bersama.
            Jika tak dipenuhi kemauannya, dia akan malas belajar pelajaran selanjutnya. Tarik napas dalam-dalam, lalu kami lari. Jauh, jauh sekali dan saya kalah. Wajar saja, pendatang baru. Heheheee.

Belajar berhitung bersama Riski

            Pelajaran selanjutnya, saya mengajar cara menghitung dengan napas ngos-ngosan akibat kalah lomba lari. Saya mengajarkan bagaimana cara menjumlahkan dan mengurangkan bilangan. Hingga pukul 11.00 kami belajar. Sekolah dilanjutkan pada sore hari untuk pelajaran Agama. Para siswa akan diajarkan cara shalat, wudhu dan bacaan surah-surah pendek.
            Malam hari, kami mengevaluasi hasil mengajar. Ada beberapa strategi yang dibuat agar siswa tidak jenuh belajar. Selain itu, metode belajar seperti privat membuat siswa juga lebih mudah mengerti.
            Esoknya di hari Sabtu, sekolah kembali lagi mulai pukul 08.00 Wita. Hari ini ditambahkan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan diselingi dengan permainan. Siswa disuruh mengambil batu dan daun yang ia tau nama pohonnya. Setelahnya, kita menghitung bersama jumlah daun dan batunya. Lalu, dikurangi lagi dan dibagi. Permainan ini menggunakan benda-benda yang gampang didapat supaya memudahkan siswa memahami Matematika.
Foto dulu sebelum kelas berakhir
            Sekolah diakhiri dengan kelas kreatif yang berlangsung sore hari. Saat itu, siswa dibagi menjadi dua kelompok. Perempuan diajar menggambar dan mewarnai. Sedangkan, laki-laki diajak membuat gantungan pakaian dari bambu.
            Setelah penat mengajar, kami para relawan melepas lelah dengan berkemah di Puncak Bukit Patontongan. Bukit ini terletak tidak jauh dari kampung. Butuh waktu satu jam untuk mencapainya. 
Kelas kreatif menggambar dan mewarnai


Outbound permainan lipat sarung
Makan malam di Bukit Patontongan

            Perjumpaan dengan siswa SIA harus kami akhiri. Di hari terakhir, ada outbound yang dilakukan. Ada permaianan lipat sarung dan estafet piring yang dibuat. Saat itu, kami bermain bersama para siswa. Rasanya senang sekaligus sedih akan berpisah.

            Minggu siang, kami bergegas kembali ke Makassar. Adik-adik ramai di posko melepas kepergian kami. Tangisan tumpah dari seorang siswa membuat berat sekali meninggalkan sekolah. Tapi, tenanglah bulan depan kami datang lagi.
            Yah, memprihatinkan sekali rasanya. Saat siswa lainnya mengecap bangku sekolah selama 24 hari dalam sebulan, siswa SIA hanya merasakan 2 hari saja dalam sebulan. Tanpa fasilitas, buku yang lengkap dan tenaga pengajar tetap 
pula.
            Kamu terdidik? Buktikan dengan membagi ilmu pengetahuanmu.

Relawan Sikola Inspirasi Alam angkatan V



Penuh Cinta, 

Fransiska Wolor
Relawan angkatan V
Sikola Inspirasi Alam (SIA)

           
                       

Cerita Penelitian : Menemukanmu dalam Gelap [END]


HARI BERSAMA KLOTER DELAPAN

(Kloter delapan : kak Julian, Yusuf dan Rani)

Senin, 28 November 2017
           
            Kali ini kami kloter delapan tidak berangkat secara bersamaan dari Makassar. Yusuf yang memang tinggal di Pangkep membuat kami janjian saja ketemu di jalan masuk Tonasa II. Saya berangkat bersama kak Julian sekitar pukul 09.00 Wita menuju tempat janjian dengan Yusuf dan Rani.

            Setelah menempuh dua jam perjalanan, kami berjumpa dengan Yusuf dan lanjut cuss menuju Desa Manyampa. Sampai di waktu yang tidak sesuai dengan perjanjian membuat pak RT lama membuka pintu. Ternyata, ia sedang berada di rumah tetangga. Lama kami berteriak memanggil-manggil baru ia datang. Pak RT malah mengira saya tak akan datang, soalnya kemarin berjanji akan kembali pada hari Sabtu.

            Kami pun bergegas menyimpan motor dan mengambil peralatan penelitian yang telah disimpan di rumah pak RT. Pak RT memberi kami jagung sebagai bekal yang bisa dimasak di tenda nanti. Setelahnya, packingan dibagi rata dan tracking menuju gua. Saya memimpin perjalanan dan diikuti oleh para lelaki di bagian belakang.
           
            Sejam lebih berjalan, akhirnya kami tiba di lokasi camp. Beberapa daerah di sekitar mulut gua ini tergenang air. Memang beberapa hari yang lalu katanya hujan terus turun. Hanya hari ini saat kami datang, tidak hujan. Kami lama sekali berputar-putar hingga menentukan lokasi camp yang sesuai.
           
            Tenda segera dipasang dan barang-barang dirapikan. Setelah selesai, saya segera memasak nasi dan kami makan siang bersama lauk yang telah dibawa dari rumah. Saat itu, jam baru menunjukkan pukul 15.00 Wita, hmmm masih lama. Trap akan dipasang pada pukul 17.00 Wita. Masih banyak waktu untuk istirahat. Akhirnya, kami tertidur di tenda masing-masing. Saya tidur sendiri bersama barang-barang. Sedangkan, kak Julian bersama Yusuf dan Rani dalam satu tenda.

            Satu jam tertidur, hujan turun dengan derasnya. Tenda saya bocor. Lagi-lagi, saya lupa membuat parit. Aduhhhh… duhh.. duh… Camp kembali tergenang. Saya berteriak meminta bantuan kak Julian, Yusuf dan Rani. Namun hanya kak Julian saja yang tersadar. Akhirnya kami berdua membuat parit sambil mandi hujan. Entah mengapa dua orang lelaki yang tertidur tak merasakan banjir sama sekali. Hmmmmm…. Tidur yang begitu hakiki. Hahhaha.
           
            Lama sekali saya dan kak Julian berjuang membuat parit dan membereskan barang-barang yang tergenang air hingga akhirnya Yusuf bangun membantu kami. Jam menunjukkan waktu hampir pukul 17.00 Wita. Saya segera menyiapkan jaring yang akan dipasang sebagai trap kelelawar. Oh iya, kali ini saya mengganti bentuk jaring yang digunakan.

            Dulunya memakai jaring bertangkai panjang yang bentuknya mirip jaring kupu-kupu, sekarang diubah jadi jaring yang dipakai memancing ikan betuknya mirip misnet hanya saja tidak dipasang dengan menggunakan bambu di ujungnya. Jaring saya hanya diikatkan pada tumbuhan menjalar yang terletak di dekat mulut gua. Jaring ini begitu lebar sehingga nampaknya tidak ada jalan keluar dari kelelawar. Hal ini membuat jaring harus segera dibuka agar kelelawar tidak mati dan terluka di dalam jaring.

            Sebelum pukul 18.00 Wita, kelelawar sudah banyak terperangkap di dalam trap. Saya segera memanggil kak Julian dan Yusuf untuk membantu membuka perangkap. Namun, Yusuf masih serius membuat parit. Akhirnya Rani bergabung bersama kami. Kali ini, tak ada lagi ular. Sehingga kami aman.

            Ternyata jaring dipasang kak Julian begitu ribet. Ia susah dibuka karena terait di beberapa tumbuhan menjalar. Kelelawar mulai mengamuk tidak tenang. Aduh, saya merasa kasian dan ingin segera melepas kelelawar yang sudah dapatkan sampelnya. Saya mengambil jenis kelelawar yang dicari dan segera diletakkan di kantong blacu sebelum dibius.
            Kak Julian dan Rani berusaha sangat keras membuka jaring. Kondisi setelah hujan membuat batuan karst sangat licin. Kak Julian hampir terjatuh, syukur saja ada Rani yang meraih tangannya sehingga ia tak jadi terjun bebas. Ahh, syukurlah…. Lama mencoba membuka jaring, akhirnya semua kelelawar bebas terbang menghirup udara bebas dan pergi mencari makan. Misi pencarian kelelawar telah selesai. Maafkan saya kele, membuat dirimu tersakiti. Hiksss….

            Hari ini kami bekerja sangat keras, hingga di malam hari perut begitu lapar. Saya masih saja sibuk mengawetkan kelelawar dan mengukur bagian-bagian tubuhnya. Kak Julian memasak dan Yusuf bersama Rani membereskan camp. Menu kita malam ini ialah nasi bersama mie instan jagung. Ada-ada saja resep kak Julian, tapi enak kok.. Enak….

            Malam hari, kami berbagai banyak cerita di tengah dinginnya malam. Saat ini, Yusuf dibuatkan forum untuk mencerita kisah cintanya. Saya, kak Julian dan Rani jadi pendengar setia yang sering ketawa-ketawa saja. Hahahahaaahahahha. Dini hari pukul 00.00 Wita, kami masuk di tenda untuk tidur. Ahhh, saya merasa dingin karena hanya tidur sendiri bersama barang-barang. Hiksss. Tapi, apa boleh buat?


Selasa, 29 November 2017

            Lagi-lagi, bangun pagi tercepat dimenangkan oleh kak Julian. Yeyyeyelallalala. Tapi kali ini terlewat cepat loh. Baru saja pukul 05.00 Wita ia sudah menggoyang-goyangkan tendaku sambil memanggil. “Franss…. Fransss… Franssss bangun ko cepat. Dingin ka Frans,” ujarnya mengigil.
           
            Saya bangun dengan muka melas dan bertanya ada apa. Ia meminta Sleeping Bag (SB)nya. Oh iya, memang saya tidur dengan 2 SB dan jaketnya. Saya lupa memberinya SB  saat ingin tidur. Ia segera mengambil pemberianku dan kembali tidur di tendanya. Saya juga kembali tidur. Satu jam kemudian, kak Julian bangun lagi dan memanggil. “Ada apa lagi kah?” ujarku kesal karena waktu tidur yang diganggu. “Frans, tidak bisa ma tidur. Ayo memasak eehh,” ajaknya. Aweeeeeeeeee, kenapa saya punya teman terlalu rajin begini? Hiksss…. Orang mau tidur lama-lama diajak bekerja pagi-pagi. Hmm, malasnya saya deh.
           
            Mendengar ajakannya, saya hanya bangun dengan muka masih merindukan bantal. Kami bercerita banyak hal dulu baru ketika pukul 06.30 Wita pergi mencuci piring dan memasak. Santapan kali ini, bubur jagung buatan kak Julian dan teh hangat buatan saya. Yeyyeyeye.

            Pukul 08.00 Wita barulah Yusuf dan Rani bangun. Makanan sudah terhidang siap untuk disantap bersama. Saya menyuruh mereka cuci muka dulu baru kami makan bersama. Selesai makan, saya, Yusuf dan Rani ingin masuk gua. Saya juga akan mengambil semua alat penelitian yang terpasang di dalam gua dan membuka semua webbing yang masih terpasang di gua. Kali ini, kak Julian tak bergabung bersama. Ia memilih memasak makan siang agar sebelum pulang kami bisa 
makan dulu baru tracking.

Siap masuk gua bersama Yusuf (coverall merah) dan Rani (coverall biru navy)

            Kali ini, satu setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk menelusuri gua. Kami hanya mengambil alat penelitian dan lama sekali foto-foto. Saya mengambil foto Yusuf dan Rani secara bergantian karena katanya ini pengalaman pertama mereka susur gua. Selesai itu, kami keluar siap menyatap masakan kak Julian lalu packing.

            Perjalanan bersama kloter delapan dipenuhi kisah diserang hujan badai, kak Julian hampir jatuh karena melepas jaring, kisah cinta Yusuf dan yang pastinya masakan yang dicampur-campur dengan jagung pemberian pak RT. Terima kasih kawan-kawan.

Mission COMPLETE……………………………. Puji Tuhan.

           
Penutup 

            Dalam kisah penelitian ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Pandu Alam Lingkungan Unhas periode 2017-2018, saudaraku Asdar. Dia yang selalu membantu saya selama mengurus berkas izin penelitian hingga survei lokasi, hanya karena tanggungjawab yang  ia emban jadi tidak bisa hadir menemani mengambil data saat penelitian.
           
            Terima kasih untuk pak RT Desa Manyampa dan seluruh warga Dusun Minggi, Desa Manyampa dan Desa Bantimurung. Terima kasih kakak-kakak Taman Nasional Babul, kak Muhammad Yunus yang memberi informasi gua yang jadi sarang kelelawar, kak Edy Kyoto dan kak Dewi yang membantu pengurusan Simaksi.

            Terima kasih kak Elis, Mira, Alva, Antoks, Baso dan juga P.A.L yang memberikan saya pinjaman peralatan susur gua. Terima kasih Lab KSDHE, Fakultas Kehutanan dan ibu Dr.Risma Illa Maulany,S.Hut.,M.NatResSt atas pinjaman alat penelitian.

            Terima kasih atas doa, dukungan dan motivasi yang diberikan oleh  setiap orang yang selalu dengar curahatan hati saya selama masa kuliah hingga penelitian dan jadi sarjana kehutanan.
           
            Dua orang terhebat dalam hidup saya, Bapak dan Mama saya yang selalu pusing karena anak perempuan satu-satunya yang jarang pulang ke rumah ini. Maafkan saya yang sok sibuk di kampus. Hehhe. Terima kasih bapak dan mama, selalu percaya bahwa saya bisa jadi anak yang baik di luar sana.

            Terima kasih Tuhan.

            Kele, saya beruntung diberi kesempatan mengenalmu.
            Terima kasih.
           

            Penuh cinta, 

Fransiska Sabu Wolor

Cerita Penelitian : Menemukanmu dalam Gelap [Part 8]


HARI BERSAMA KLOTER TUJUH

(Kloter tujuh : kak Dara, St dan Edwin)

Sabtu, 18 November 2017

            Hari ini saya akan kembali menangkap 2 jenis kelelawar yang bersarang di Gua Mara Kallang. Saya ditemani oleh Edwin, saudara di P.A.L, kak Dara dan St. Oh iya, kak Agung dan Yusuf teman juga berencana menyusul untuk menemani di lokasi penelitian. Mereka tak bisa berangkat bersama karena ada beberapa kegiatan yang harus dikerjakan sebelumnya.

            Tepat pukul 11.00 Wita, kami (saya, St dan Edwin) berangkat dari basecamp P.A.L menuju lokasi penelitian. Namun sebelumnya, kami singgah dulu di Maros untuk menjemput kak Dara yang juga ingin ikut bersama. Perjalanan ini direncanakan hanya 2 hari 1 malam saja karena data yang diambil sudah tidak banyak.

            Setelah menempuh kurang lebih dua jam perjalanan, kami sampai di rumah pak RT. Ahh, akhirnya saya kembali lagi. Kangen sekali sama warga desa ini yang begitu baik hatinya. Tak lama, pak RT pun menyambut dan kami bercerita sejenak. Seketika itu, langit langsung gelap dan hujan turun. Hmmm…

            Saya segera menghubungi kak Agung dan Yusuf untuk memastikan apakah mereka jadi menyusul ke Gua Mara Kallang atau tidak. Hmm, kak Agung mengatakan dirinya berusaha datang jika rapat organisasinya cepat selesai. Sedangkan Yusuf juga tidak bisa memastikan dirinya datang karena akan pergi acara pernikahan bersama Ibunya.

            Mendengar kabar ini, kami langsung tracking menuju Gua Mara Kallang dalam kondisi diguyur hujan. Syukurnya semua mahasiswa Kehutanan jadi jalan saat hujan bukan sebuah masalah yang besar. Saya mengambil beberapa alat penelitian yang dititipkan di rumah pak RT lalu berpamitan hendak melanjutkan perjalanan.

            Satu setengah jam saja waktu yang dihabiskan untuk berjalan. Walau berjalan dalam waktu yang normal, kami tetap saja ngos-ngosan. Kaki yang makin lelah menanjak dan hujan yang membuat bawaan makin berat mewarnai suka duka perjalanan kloter tujuh ini.

            Lelah berjalan, finally sampai di lokasi camp. Saya segera membongkar carrier dan memisahkan bahan makanan, perlengkapan camp dan peralatan penelitian. St juga membongkar carriernya yang berisi tenda. Beberapa jam kemudian, tenda sudah siap dan masakan pun sudah terhidang.

            Seperti biasanya, saya tetap membawa bekal racikan mama dari rumah. Jadi di lapangan hanya masak nasi saja. Kali ini, kami memakai cara memasak nasi yang diproklamirkan oleh kak Agung. Katanya, cara ini ajaran dari Prof Oka, dosen saya di kampus. Jadi seperti biasa beras dicuci dan diletakkan pada nesting. Namun, beras harus direndam dulu hingga 15 menit lah. Kemudian dimasak deh. Oh iya, katanya lagi masak nasi dengan cara seperti ini lebih nikmat loh…. Tapi menurut saya, sama saja sih, sama-sama rasa nasi. Ahahahhaha.

            Meskipun tenda sudah selesai terpasang, namun flysheet belum ada. Saat itu, St dan Edwin masih berpikir bagaimana bentuk flysheet yang bagus jika dipasang. Lama sekali mereka berpikir, akhirnya flysheet terpasang. Yeahh… Namun, flysheetnya miring. Hahahhaa. Saya dan kak Dara setengah mati mengomentari bentuk camp yang jadi aneh ini. Tetapi, saya mengusulkan untuk makan dulu, setelahnya baru diperbaiki. Soalnya saya dan kak Dara sudah satu jam menunggu waktu makan dengan perut yang keroncongan.

            Mendengar nada-nada meremehkan dari kami (saya dan kak Dara) membuat para lelaki dengan sigapnya membongkar flysheet dan memasangnya kembali. Mereka mengukur baik-baik, secuil demi secuil agar dua tenda bisa tertutup oleh flysheet ini. Tiga kali bongkar pasang flysheet, akhirnya kami makan. Saya sudah bosan berkomentar, cacing di perut menginstruksikan mulut untuk diam saja agar waktu makan segera tiba.

            Sehabis makan kami beristirahat dulu, hingga pukul 17.00 Wita. Saya sudah mengatur rencana untuk memasang trap pada jam istrahat berakhir. Segera saya dan Edwin menuju mulut gua. Satu jam dari sekarang itu waktunya kelelawar keluar dari gua untuk mencari makan, jadi kami harus sigap melepaskan perangkap.

            Saat itu, kami kelewatan waktu. Saling bercerita dan bercanda membuat kami larut dan waktu sudah menujukkan pukul 18.10 Wita. Saya segera menyuruh St dan Edwin membuka trap sambil persiapan pembiusan kelelawar dilakukan bersama kak Dara. Namun, apa daya usaha kami kala cepat oleh ular yang ternyata sudah nongkrong di depan mulut Gua Mara Kallang.

            Kehadiran ular hanya dilihat oleh St dan Edwin begitu fokus membuka trap. Melihat ular yang sewakktu-waktu bisa mematok tangan Edwin, St pun berkata “Edwin, pelan-pelan buka perangkapnya. Jangan ko panik karena ada ular di atas. Kalau kaget itu ular, langsung ko na gigit,” Mendengar kata ular, Edwin langsung meluncur tanpa mempedulikan jalur menuju mulut gua yang curam. Dalam satu kali lompatan, Edwin sudah mendarat di samping camp.

            Melihat atraksi dari Edwin, saya dan kak Dara hanya tertawa sambil bertanya-tanya apa yang terjadi. Muka Edwin jadi pucat sekali. Ia tak peduli lecet di kaki, tangan dan belakangnya karena atraksi itu. St pun segera mengklarifikasi “Wee… Ini Edwin toh anak-anak, disuruh pelan-pelan buka jaring. Ehhh pi panik baru langsung lompat,” katanya. Edwin langsung membalas dengan minta ampun “Minta maaf ka ini kak Frans, kalau bukan ada ular. Saya ambilkan ki kelelawar di atas. Tapi, tidak bisa ka ini. Tidak bisa ka ini ada ular kak. Baru dekat mi sama tanganku. Hampir ka mati ini kak,” ujarnya cepat sekali.

            Dengan berat hati, kelelawar yang sudah masuk dalam perangkap banyak yang keluar. Yah… Gagal deh tangkap kelelawar. Hiks. Lagi-lagi, ular. Hmmm… Ular memang gercap yah untuk memangsa. Lengah sedikit, kita kalah. Hiks.

            Akhirnya St memberi ide untuk menunggu ular berpindah dari mulut gua dan kami melepas jaring yang terpasang. Namun, saya mengatakan bahwa sebelumnya saya pernah menunggu ular pindah dari mulut gua dan hingga pukul 01.00 dini hari, ia masih betah saja ada di situ. Otak langsung berputar cepat mencari ide, bagaimana cara membuat ular pergi dari mulut gua.

            St pun mengambil gelas yang diisi alkohol dan diberi garam. Ia mengajak Edwin kembali ke mulut gua untuk menyiram larutan alkohol itu di sekitar jaring agar ular pergi menjauh. Ajakan ini jelas tidak diterima Edwin yang masih trauma mendalam. Saya menemani St dan kak Dara yang menunggu mengarahkan apakah posisi kami aman dari ular.

            Ide ini ternyata tak mampan mengusir ular, malahan dua kelelawar yang terperangkap di jaring mulai pusing mencium bau alkohol. Menunggu begitu lama akhirnya St memutuskan untuk membuka jaring di malam hari walaupun matanya rabun. Ia hanya minta diberi penyinaran yang banyak saat hendak menarik jaring yang terikat pada bebatuan karst.

            Aksi ini akhirnya berhasil. Yeaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah…… Finally. Namun, dari 2 individu kelelawar yang didapatkan, Hanya 1 individu saja yang saya awetkan. Soalnya individu lainnya sebelumnya sudah saya temukan. Ahhh, dimana kelelawar yang 1 lagi yah? Hmmmm…..

            Perjuangan menangkap kelelawar yang begitu panjang, membuat kami semua kelaparan. Malam yang dingin ini, kami menghangatkan diri dengan mie instant. Yeyeyeye. Selesai makan, saya menyuruh Edwin untuk memeriksa belakangnya, jangan-jangan ada luka. Saya memberi minyak gosok untuk dia oleskan pada luka di kaki dan tangannya.

            Malam ini di akhiri dengan cerita “Apa yang harus kita lakukan jika Edwin dipatok ular?” Ahahahaha. Semua orang mengarang cerita. Akankah kita segera menggendong Edwin turun ke Desa Manyampa di malam hari ? Ataukah menelpon teman-teman di P.A.L minta tolong untuk merescue Edwin ? Cara tercepat memberhentikan bisa ular ialah mengeluarkan darah dengan cari digores, relakah Edwin tangannya tergores-gores? Ataukah jika pertolongan terlambat dan seluruh badan Edwin terserang bisa ular, akankah nama Almarhum dituliskan pada ucapan terima kasih skripsi saya? Semuanya hanya khayalan yang dipenuhi canda dan tawa. Terima kasih Edwin, jasamu dan atraksi terjunmu tak bisa ku lupakan. You’re amazing bro…. :D :D ;)

            Sesi cerita selesai, saya jadi orang yang pertama pamit untuk tidur. Nampaknya, menertawakan Edwin ini menguras banyak energi. Haha. Oh iya, kali ini karena ada dua tenda dan flysheet yang tidak bisa menutupi seluruh bagian tenda akhirnya barang-barang juga disimpan di dalam tenda. Takutnya, saat tidur nanti hujan turun dan semua barang-barang jadi basah. Edwin, sang pahlawan yang hampir dipatok ular pun tidur bersama barang. Sedangkan saya, kak Dara dan St tidur dalam satu tenda.


Minggu, 19 November 2017

            Hari ini saya bangun pukul 07.20 Wita. Yah, seandainya saja hari ini masih mengambil data dalam gua, pasti sudah terlambat. Tapi, karena tau bahwa kegiatan hari ini sudah tak ada lagi, maka saya sengaja tidur lama. Ternyata meskipun bangun  terlambat, saya tetaplah orang yang lebih dulu sadar dibanding kawan yang lainnya.

            Saya segera memasak air dan membuat teh. Tak lama, kak Dara, St dan Edwin pun bangun, kami segera sarapan dengan kue. Lalu, makan nasi bersama mie instan lagi. Setelahnya kami bersiap masuk ke dalam gua. Saya ingin mengambil data rekaman suhu dulu sekalian juga teman-teman ingin foto dalam gua. Oh iya, alat pengukur suhu ini menggunakan ibutton jadi alat ini disetel untuk merekam suhu setiap satu jam selama masa penelitian. Namun, di setiap saat ingin pulang saya harus mengambil data rekaman ini sebagai backup.              

            Pukul 10.00 Wita kami sepakat untuk masuk gua bersama. Jumlah personil kloter tujuh yang ada 4 orang ini membuat coverall tidak cukup. Akhirnya, St memutuskan diri untuk menggunakan raincoat saja masuk ke dalam gua dan celana panjang. Sehingga badannya terlindungi dari kemungkinan lecet. Kali ini, saya membawa laptop masuk, soalnya data suhu harus direkam di dalam laptop. Benda yang menjadi nyawa skripsi saya ini dipacking sebaik mungkin di dalam drybag sehingga tak ada kemungkinan basah terkena air.

            Di dalam gua, ternyata baterai headlamp kami sudah melemah karena kemarin lama sekali digunakan untuk penerangan saat berkisruh dengan ular dan menunggu jaring kelelawar dilepaskan. Terpaksa kami jalan dengan begitu pelan dan saling menunggu satu sama lainnya. Hal ini dilakukan agar teman yang memakai headlamp yang sudah tidak terang cahayanya tidak terjatuh di dalam gua ataupun tertumbuk ornamen gua.

            Sekitar dua jam di dalam gua, pengambilan data suhu sudah selesai. Kami berfoto dulu sebelum ke luar gua. Hari terakhir bersama kloter ketujuh ini harus diabadikan sebaik mungkin.


Foto bersama kloter tujuh;
kak Dara (helm oranye), Edwin (coverall merah), St (raincoat biru)

            Keluar dari gua, kami segera beres-beres untuk pulang ke Makassar. Perjalanan yang masih menyisakan satu jenis kelelawar yang belum tertangkap ini mebuat saya harus kembali lagi minggu depan di Gua Mara Kallang. Sebagian peralatan pun kembali dititipkan di rumah pak RT. Kami pulang dengan penuh sukacita dan riang gembira J Terima kasih kawan-kawancuuuu….



Cerita lain!

            Lagi-lagi kegundahan mencari teman penelitian masih saya alami. Belum  mendapatkan 1 jenis kelelawar membuat saya harus come back again to Gua Mara Kallang. Siapa lagi yah yang mau menemani ke lapangan ? Teman-teman di P.A.L sudah tidak ada lagi yang bisa karena hari Sabtu dan Minggu depan ialah jadwal praktikum lapangan. Selain itu, teman-teman identitas Unhas juga tidak bisa menemani, ada kegiatan rekreasi di Puntondo, Takalar. Teman lab KSDHE juga demikian. Hmmmm, siapa lagi yah?
           
            Saya menghubungi semua teman yang berpotensi ikut menemani. Tak mendapatkan teman membuat kak Julian merelakan dirinya ikut bersama saya. Namun, kami harus mencari orang lagi. Beberapa teman gereja dan teman KKN saya hubungi, namun ternyata tak bisa ikut bergabung juga. Bahkan, saya sampai menyuruh kak Julian mencari temannya saja yang bisa diajak ikut bergabung. Kami menghubungi banyak sekali orang.
           
            Hingga akhirnya kegalauan ini menemukan seberkas cahaya terang. Yusuf, yang beberapa kali berjanji menemani mengambil data di lapangan tiba-tiba mengirim pesan WA yang berkata ia bisa bergabung dengan saya di lapangan, hanya saja berangkatnya harus hari Senin dan Selasa karena ada praktek lapangan juga yang harus diikutinya di akhir pekan.

            Rencana pun dimatangkan, kami kloter delapan akan berangkat di hari Senin dan Selasa. Saya menyuruh Yusuf mengajak temannya agar kami berempat di lapangan dan tidak sepi. 


TO BE CONTINUE