Meine

My life, My adventure, My story..

Pages

Jangan Renggut ‘Gelapku’



            Kegelapan identik dengan hal-hal yang menyeramkan, mistis dan duka yang bernuasa hitam. Menyeramkan kala berapa di tempat yang gelap seorang diri, mistis kala melihat seseorang dengan pakaian serba hitam setiap harinya ataupun duka kala sedang berkabung.
            Suasana gelap memiliki mitos tersendiri bagi beberapa pribadi. Adanya rasa takut berlebih saat berada di tempat nan gulita ini dikarenakan banyaknya ilusi akan keberadaan makhluk lain. Entah orang yang ingin berbuat jahat ataupun hadirnya makhluk asing.
            Berada di tempat gelap juga menyeramkan bagi saya. Namun, persepsi akan gelap itu seram hilang kala kutemukan tempat ini. Saat ku jelajahi, ternyata Tuhan menyimpan cahaya indah-Nya di balik gelap.
            Tempat ini telah lama akrab di telingaku. Ketika diajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) saat menempuh pendidikan dasar hingga Ilmu Sejarah pada pendidikan menegah atas.
            Awalnya, tempat ini saya kunjungi sekedar memenuhi tugas melihat bukti-bukti sejarah. Ketika itu, Taman Prasejarah Leang-Leang Maros menjadi tujuan melihat bukti keberadaan manusia purba dan bagaimana cara mereka menjalani  hidupnya.
            Saya dan teman-teman disuruh melihat telapak tangan manusia purba pada dinding gua. Namun, kami tak sepenuhnya memerhatikan apa yang diajarkan, malah asyik berfoto ria sebagai bukti pernah masuk ke dalam gua.
            Tak sesederhana menjelajah untuk sekedar berfoto, kini pandangku berubah. Terlebih setelah beberapa kali menyusuri gua. Melihat banyaknya stalaktit dan stalakmit yang bertemu menjadi pilar. Stalaktit yang bercabang menjadi helekmit. Penumpukan batu kapur yang menjadi batu alir (flowstone) dan banyak ornamen indah lainnya.
            Bukan hanya ornamen, pertemuan juga terjadi dengan binatang yang harus terbiasa dengan suasana gelap hingga memiliki mata semu. Ada jangkrik, laba-laba, lipan, kelelawar, burung walet, ikan, udang, kepiting, kodok dan lain-lain.
            Kini, gua tak sekedar tempat prasejarah saja. Tempat dimana saya menemukan suasana yang hening, sepi dan damai ini juga sumber kehidupan baik makhluk hidup. Gua yang berada di kawasan karst menjadi tempat penyimpan air yang sangat berperan bagi makhluk hidup. Tak hanya itu, gua juga dijadikan laboratorium ilmiah.
            Mirisnya, gua kini tak seperti dulu lagi. Kilapan dari ornamennya sudah jarang terlihat kala menyusuri gua. Mengapa tidak, yang muncul hanyalah pemikiran bagaimana cara melindungi gua dibalik banyaknya usaha penambangan oleh pabrik semen.
            Menurut informasi dari media online Koran Kompas, Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, mengungkapkan ada 138 gua prasejarah yang tersebar di sepanjang kawasan karst Maros-Pangkap. Diantaranya, hanya sebanyak 63 gua yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul), sehingga relatif aman dari ancaman kerusakan.
            Sedangkan, 75 gua yang berada di luar kawasan TN Babul rentan terhadap ancaman kerusakan. Kerusakan akan gua makin dikhawatirkan karena bukan hanya ada dua pabrik semen di kawasan karst ini.
            Ada lagi rencana pembangunan pabrik semen di kawasan karst ini. Pabrik semen dari Cina akan mengambil sekitar 500 hektar TN Babul. Lahan yang diambil berasal dari 300 hektar hutan produksi dan sisanya lahan warga.
            Coba bayangkan, jika daerah yang memiliki kawasan karst terbesar di dunia ini memiliki tiga pabrik semen di dalamnya. Dampak seperti apa yang akan ditimbulkan? Akan terjadi polusi udara, kondisi jalan rusak akibat endapan debu semen, parahnya ketersediaan air makin berkurang.
            Bukan hanya pabrik semen yang membuatku tak tenang bernapas, dikenalnya sarang burung walet sebagai bahan pengobatan berbagai penyakit dan bahan mempercantik diri juga. Kini, banyak orang setia melakukan pemburuan sarang walet. Bahkan diperdagangkan hingga ke luar negeri.
            Kembalilah berangan, manusia memasuki gua hanya untuk mengambil kekayaan alamnya tanpa mengerti apa tindakannya menganggu ekosistem di dalam gua atau tidak. Keributan yang mereka buat menganggu ketenangan gua atau tidak.
            Jika memang kita menghormati pendiri bangsa kita, kembalilah ingat pesan Bung Karno. Jas Merah : “Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah”. Pahamilah bahwa gua ialah tempat prasejarah yang menyimpan banyak manfaat bagi makhluk hidup di dalam dan luarnya.
            Tempat gelap itu tetap akan tenang jika tak diubah. Tapi ketenangan di sana takkan abadi lagi jika disentuh. Janganlah kau ubah. Biarkan yang gelap itu bersinar dengan isinya, bukan dengan olahanmu!

Orang gelap di tempat gelap, Bersinarlah karena kita gelap :-)