“Wah,
kasian sekali ada anak perempuan disuruh angkat tas besar dan jalan keliling
kampung,” kata ini diucapkan para ibu yang berkumpul ketika kami lewat. Tak
hanya sekali kalimat ini ku dengar, pernah juga dari sekumpulan anak kecil.
Kala
itu, diriku berjalan mengangkat tas jinjing besar dengan beban setengah berat
badan yaitu 22 kg. Lalu, seorang yang lebih tua setahun dariku berjalan di
depan dan sekali menoleh sinis ketika aku terjatuh dan meringis kesakitan. “Ih,
kasiannya dikerjain sama seniornya disuruh jalan bawa beban,” ujar anak-anak
yang menyaksikannya.
Tas
jinjing besar itu, ketika kuliah baru ku kenal dengan nama carrier. Sebelumnya, hanya sapaan tas pendaki yang ku berikan
padanya. Setiap melihat ada yang mengenakan tas ini, aku menjerit dalam hati.
“Wah keren sekali,” batinku. Bukan hanya mengagumi bentuk fisik tasnya namun
juga karakter orang yang membawa tas itu.
Tak
lepas dari pundak orang yang berpergian jauh terlebih ke alam bebas begitulah
kesan yang ku simpan pada tas ini. Bagiku, menjadi petualang ialah bagian dari
mensyukuri ciptaan Tuhan. Makanya ketika duduk di bangku kuliah, aku berniat
untuk bergabung bersama organisasi pencinta alam.
Namun
niat tulus ini tidak begitu saja diiyakan oleh kedua orang tuaku. Pandangan
pertama ialah menjadi mahasiswa pencinta alam itu akan banyak resiko yang
dihadapi. “Bagaimana mungkin kita mengatur alam?” kata Bapakku sambil menjelaskan
resiko yang akan ku hadapi. Kedua ialah kuliah yang akan terbengkalai karena aktivitas
yang padat. Selain itu ada kesan yang ditimbul bahwa pencinta alam justru yang
menjadi perusak alam.
Tetapi
tak begitu saja diriku menyerah hingga aku bersama kedua temanku berjuang untuk
memasuki organisasi ini bersama. Pandangan orang tuaku dan yang lainnya
terpatahkan setelah ku berada di dalamnya.
Tas
besar yang berat nan jauh ku jinjing sambil berjalan itu tak hanya menyisahkan
capek. Ada kisah indah di dalamnya, belajar mengenali diri sendiri,
belajar bertahan hidup, belajar beradaptasi dengan alam dan masyarakat
sekitarnya yang membuatku selalu ingin kembali bertualang.
Betapa
para pemakai tas jinjing besar yang setia menemani jejak, diguyur hujan
bersama, masuk hutan bersama, makan dedaunan bersama serangga hutan dan hewan
sungai. Benar kata seorang senior saat saya mengikuti wawancara untuk memasuki
organisasi pencinta alam itu. “Yang setia dalam susah pasti juga akan menemani
dalam bahagia,” ungkapnya kala itu.
Inilah
yang selalu ku ingat, pesan agar setia pada kesusahan. Sama seperti yang
dipandang orang-orang, “Untuk apa capek dan susah-susah pergi mendaki?” Cobalah,
jika ingin membuktikan ada kebahagian tak terlupakan di dalamnya.
Namun,
sekarang pandangan tentang pencinta alam adalah perusak alam ramai digunjingkan. Plesetan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) menjadi Mahasiswa Paling Lama juga ada. Bagiku,
ini semua kembali pada pribadi masing-masing bagaimana caranya mengatur waktu.
Jika
lama selesai namun bermanfaat kepada alam dan sesama, apa salahnya ? Tak ada
yang memberi coretan atau conterangan benar akan pernyataanku itu. Intinya
bagiku, nikmatilah tiap jejak bersama tas jinjing berat itu. Meski bebannya
berat tetaplah setia akan hal besar yang engkau lalui di dalamnya.
Tulisan ini saya buat ketika kelas Citizen Journalism di Identitas. Kala itu kami diminta menceritakan sesuatu yang menggambarkan diri sendiri. Saya memilih menulis kesetian dalam menyusuri alam karena ingin berbagi apa yang saya rasakan, pahami dan yakini mengenai perjalanan kepada siapa saja.
Foto diambil saat perjalanan dari pos 0 Gn. Bulusaraung menuju Pangkep. lokasi WISRIM X Pandu Alam Lingkungan (P.A.L) |
Kembali lagi saya ucapkan :
Meski Berat Tetaplah Setia :)
0 comments:
Post a Comment