Meine

My life, My adventure, My story..

Pages

Cerita Penelitian : Menemukanmu dalam Gelap [Part 2]


HARI BERSAMA KLOTER PERTAMA          
(Kloter pertama : Baso, kak Leny, kak Wiki, Aim dan Antoks)

Senin, 30 Oktober 2017

            Dalam perjalanan kali ini, partner jalan saya sebagian besar mahasiswa Fakultas Kehutanan dan saudara saya di P.A.L, jadi tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi. Sialnya, Aim di sini satu-satunya mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, baru pertama kali masuk hutan dan tidak pernah berolahraga sebelumya.

            Aim awalnya penuh sukacita menemani saya yang juga seniornya di identitas ini. Sayangnya, apa yang ia bayangkan sangat jauh dari realita keadaan di lapangan. Mungkin saja dalam benak Aim terselip kalimat-kalimat ini “Mimpi apa ka tadi malam pergi temani kak Frans penelitian? Sudah jalannya jauh, jelek, becek, motor tidak kuat mendaki, kaki tidak kuat berjalanan, beban tas yang dibawa lagi sangat berat. Ahhh, lebih baik saya pergi kerja berita daripada temani anak Kehutanan penelitian.”

            Dalam tulisan ini, saya ingin meminta maaf lagi sama Aim, maafkan senior yang menjebak juniornya ini ke hutan. Kebaikan hatimu tidak pernah saya lupakan. Hehehe.

             Perjalanan kami berjalan lancar hingga ke desa terakhir, Desa Manyampa. Setiba di desa terakhir, berakhir juga perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Motor, kami parkir di rumah pak RT dan lanjut cusssss tracking ke Gua Mara Kallang. Kami harus berjalan kaki dengan jalur yang naik turun naik turun, berbatu dan juga licin karena saat itu hujan. Waktu yang dihabiskan untuk tracking  ini sekitar satu jam. Namun, jika membawa beban yang berat dan memang jarang olahraga yah waktunya bertambah lagi setengah jam. Hahhaa.  

            Kloter pertama menghabiskan waktu satu setengah jam perjalanan karena kami singgah berteduh. Hujan begitu deras menguyur enam anak manusia ini. Andai saja tidak membawa kamera dan laptop, kami nekat meneruskan perjalanan. Sebagai anak lapangan, kami kecuali Aim senang berjalan saat hujan. Selain karena saat hujan keringat kami tidak terlihat, menangis saat hujan pun tidak ada yang tau (Hahahahahaha…. Lebaaay). 

            Kami berteduh dan memasang flysheet. Kak Wiki pun menyalakan korek dan membakar rokoknya. Ia menghangatkan diri dengan rokok. Sisa kami berlima yang saling berhimpit menghangatkan satu sama lain. Sayangnya, kehangatan itu tak membuat cacing di perut tenang. Kami lapar. Untung saja saya membawa bekal roti dan snack yang di packing di bagian atas carrier. Perut kenyang, hati pun senang. Hujan berhenti, perjalanan dilanjutkan.

            Sesampainya di Gua Mara Kallang, hanya Baso dan Aim yang bingung mencari dimana mulut gua terletak. Partner saya yang lainnya sebelumnya sudah pernah datang ke lokasi penelitian ini. Mulut Gua Mara Kallang memang sangat kecil dan tersembunyi. Jika tidak menyimak dengan baik, pasti akan bingung.
Mulut Gua Mara Kallang
             Kami memasang tenda dan menyiapkan perlengkapan masak. Saat semuanya beres, waktunya berpisah dengan Antoks dan Aim. Dua orang ini harus segera kembali ke Makassar, mereka memiliki jadwal kuliah di hari Selasa dan parahnya Aim ternyata tidak memberi kabar kepada orang tuanya kalau ia pergi ke Pangkep -_- Terima kasih Antoks dan Aim kalian istimewa di hati dan sungguh berarti, huhahhaa.
 
           Sepeninggalan Antoks dan Aim, kami pun beres-beres lokasi camp dan makan. Tidak butuh waktu yang lama untuk menunggu makan terhidang, saya yang pada dasarnya bukan seorang chef dibekali makanan oleh kedua orang tua. Mama saya khawatir anak perempuannya yang satu-satunya ini membuat teman-temannya kelaparan di tengah hutan. Jadinya, semua makanan sudah dimasak sebelumnya. Saya hanya membawa beras, mie, telur serta bumbu garam. Hhahahahaa. Sesungguhnya, hanya bahan makanan itu yang gampang diolah.
Lokasi camp di depan mulut Gua Mara Kallang

          
Melihat persediaan makanan yang tersaji begitu lengkap, teman saya tidak banyak protes. Mereka sudah tau bagaimana tabiat saya selama di dapur, kita sudah sering ke lapangan bersama. Sehabis makan, kami menyambut malam dengan saling sharing (padahal gosip yaaaa). Bagi teman yang di Makassar dan merasa ta’sakko yah berarti kalian sedang naik arisannya untuk menjadi bahan cerita di lapangan. Hahhahaa. Teman-teman ini memang suka jahil siapa yang tidak ada di lokasi, dialah yang jadi bahan cerita.

            Malam ini juga ditutup dengan saling mencurahkan kisah percintaan. Sebenarnya, tidak ada yang dengan sukarela menjadikan kisah cintanya bahan obrolan, tapi keadaan menjebak untuk saling cerita. Hahahahaha. Mungkin ada rindu yang terselip di hati kami yang berteman dingin, di tengah hutan dan jauh dari rumah. Eitssss, baru hari pertama loh.

Selasa, 31 Oktober 2017

            Keesokan paginya saya tersadar pada jam 05.30 Wita. Luar biasa, ini menjadi rekor baru. Jangan tanyakan jam berapa saya bangun jika sedang di rumah. Saya menyiapkan sarapan pagi, membuat teh dan kopi juga mengeluarkan beberapa kue untuk disantap. Sejak kecil saya terbiasa sarapan dengan kue dulu, kalau tidak makan kue rasanya ada yang kurang. Setelah siap semua sarapan, teman-teman saya bangun. Uhuuuy… Betapa bahagianya saya selesai masak dan orang siap menyantapnya. (Padahal hanya masak air dan membuat teh dan kopi -_-).

            Setelahnya, kami ternyata mendapat kunjungan dari beberapa warga desa. Memang lokasi camp kami yang berada di area bekas sawah ini selalu dikunjungi warga yang ingin mencari madu hutan dan juga membuat gula merah. Kami bercerita soal penelitian yang dilakukan dan akan menetap selama dua minggu di tempat ini. Mereka malah kaget karena merasa waktu itu sangat lama. Dalam hati saya pun berkata “Ini warga lokal saja bilang kalau dua minggu itu lama sekali, bagaimana saya yang bukan warga desa sini?” Saya merasa drop tapi harus tetap semangat. Saya sudah ada di lokasi, pantang pulang sebelum selesai pengamatan di lapangan.

            Waktu masuk gua pun tiba. Saat itu, saya ditemani kak Wiki membuat jalur pengamatan juga memasang alat pengukur suhu dan kelembaban di dalam gua. Tak lupa kami juga memasang alat di luar gua. Kami berjalan sambil mengukur untuk data pemetaan.

            Dalam perjalanan mengukur gua, saya tiba-tiba melihat tikus yang melintas di antara ornamen gua, Pilar. “Ihhh, ada tikus kak. Ayo mi keluar deh. Tidak lanjut ma ini penelitian kak,” ujarku cepat sekali pada kak Wiki. Mendengar hal ini, ia hanya menanyakan lokasi tempat saya melihat hewan itu. Kak Wiki pun menenangkan saya dan pengambilan data dilanjutkan. Oh iya, saya sangat tidak suka dengan tikus. Hewan yang aneh dan menjijikan. “Tuhan, ini dosa apa saya ketemu tikus di lokasi penelitian? Bagaimana jika saat mengambil data dia tiba-tiba muncul menyerang? Ahh. Pingsan ma itu,” gumamku dengan perasaan was-was.

            Pengambilan data dilanjutkan dan akhirnya kami sampai di Aula Gua tempat yang menjadi sarang kelelawar, kak Wiki merasa perutnya sakit. Mungkin saja ia pusing mencium bau guano (tai kelelawar) sehingga berpengaruh ke perutnya. Kami keluar dari gua karena ia ingin buang air.

            Ketika sampai di tempat camp, kak Leny dan Baso sedang asik-asiknya menikmati madu yang diberikan oleh warga. Madu ini baru diambil dari sarangnya loh. Nampaknya enak, namun saya terganggu dengan ulat-ulat kecil yang ada di madu. Ihhh….Menjijikan sekali. Namun, Baso menyakinkan saya “Coba ki dulu Frans, enak sekali nah. Pasti mau ko tambah,” Sambil tutup mata, saya mencobanya. Hmmmmmm…… Nikmat sekali ya Tuhan. Enak, enak, enak…….
 
Madu nikmat santapan kami
            Madu nikmat selesai disantap. Kami lanjut makan siang dan istirahat sejenak. Setelahnya, saya bersama Baso masuk ke dalam gua untuk menyelesaikan jalur pengamatan dan pergi mengambil air. Oh iya, di dalam Gua Mara Kallang ini ada sungai jadi kami biasa mengambil air di dalam. Warga desa pun sering mengambil air dari gua. Sebenarnya ini bukan pilihan yang bagus, soalnya ada kelelawar di dalam gua, bisa saja tai kelelawar yang mengandung banyak metana ini masuk ke dalam air. Tapi karena sedang musim kering, pipa sekitar lokasi camp tidak mengalirkan air, sungai pun kering. Tidak ada pilihan lain selain meminum air gua dan berdoa semoga tidak sakit. Hehehe.
           
            Jalur pengamatan selesai, saya dan Baso pun keluar dari gua. Namun, tugas kami berdua belum selesai, Baso harus menemani saya mencari jaringan telepon untuk menghubungi teman yang menjadi kloter kedua. Besok pagi kloter pertama ini sudah harus kembali ke Makassar. Jaringan adalah hal yang paling susah dicari saat sedang jauh menepi dari rumah dan berada di hutan.

            Setau saya jaringan hanya ada di desa terakhir. Akhirnya, kami tracking menuju rumah Pak RT tempat menyimpan motor. Hal ini dilakukan demi mendapatkan jaringan sekaligus membeli jajanan untuk Kak Wiki dan Kak Leny. Mereka rindu minum air dingin dan makan snack.

            Sebelum tracking, saya memeriksa alat pengukur suhu yang saya letakan di balik batu untuk mengukur suhu di luar gua. Alat ini terletak di tempat yang tertutupi tumbuhan menjalar sehingga susah untuk menemukannya dan terlihat aman dari gangguan. Saat mengecek lokasi penyimpanan alat, saya terkejut karena alat ini berpindah dari tempatnya sebelumnya. Saya meraba-raba daerah sekitar batu itu dan menemukan plastik alat. Ahhh, syukurlah. Setelah melihat plastik itu, ternyata ada bekas gigitan dan alatnya tak ada lagi di tempatnya. “Hilang alat pengukur suhu ku gengs,” teriakku saat itu.
           
            Seketika saya menjadi sangat panik dan seluruh penghuni tenda membantu mencari alat itu di antara tumbuhan menjalar. “Susahnya didapat ini alat kayaknya, bentuknya kecil warna logam kayak uang koin,” kataku memberi petunjuk benda yang dicari. Kak Wiki mengambil parang dan memotong tumbuhan-tumbuhan yang menghalangi pencarian. Di sekitar lokasi alat yang hilang ini, ternyata ada lobang yang dalam sekali. Jangan-jangan alatnya jatuh di situ. Ahhhh…. Gawaaaat.
           
            Lama mencari, sedikit lagi putus asa. Muka bingung, pucat, tak ada harapan hidup lagi. Pikiranku saat itu hanya, bagaimana data pengukuran suhu di luar gua? Hmm…. Melihat saya yang begitu gundah gulana, Baso mengajakku untuk pergi mencari jaringan dan belanja dulu. Setelah balik baru kami cari kembali alatnya. Saya mengiyakan saja.
           
            Setiba di desa terakhir, saya mencoba menghubungi Behel, teman saya yang menjadi anggota kloter kedua. Sayangnya, ia tidak menjawab panggilan. Kami pun pergi belanja dulu dengan menggunakan motornya Baso. Ternyata berbelanja di Desa Manyampa ini tidak semudah di kota Makassar, yang jalan sedikit sudah ketemu supermarket. Di sini hanya ada kios dan jaraknya sangat jauh dari rumah Pak RT. Itupun kios pertama yang kami temukan tidak jual minuman dingin, kios kedua, ketiga dan keempat syukurnya jual minuman dingin, tapi tidak ada air mineral.
           
            Segera kami keluar dari Desa Manyampa menuju Desa Bantimurung. Nah, di desa ini kios-kios jaraknya agak berdekatan, kami menemukan air mineral dengan segala titipan kak Wiki dan kak Leny. Demi air mineral dingin yang memuaskan dahaga, kita butuh keluar desa dulu loh. Wow!
           
            Setelah menemukan makanan dan minuman yang dicari, kami bergegas kembali ke rumah pak RT tempat menyimpan motor. Kala itu, hari sudah sore sekitar jam 17.00 Wita. Kami takut mendapat malam di perjalanan menuju camp. Meskipun membawa headlamp, tetapi jalan malam bukan hal yang kami suka.
           
            Namun, perjalanan pulang ke camp belum bisa dilanjutkan, Behel belum mengangkat teleponnya. Setelah mencoba menghubungi beberapa kali, akhirnya terjawab. Saya hanya berpesan kepada Behel untuk mengambil beberapa barang yang saya tinggalkan di basecamp P.A.L, ada beras, flysheet dan juga ponco. Selain itu, Behel harus datang pagi-pagi ke lokasi penelitian ini. Saya berjanji akan menjemputnya di rumah pak RT. Untungnya, Behel mengiyakan semua permohonan temannya ini.

            Kelamaan menunggu telepon, membuat saya dan Baso terpaksa menyusuri hutan malam-malam. Segala barang titipan dimasukan ke dalam tas yang dipikul oleh Baso. Saya berjalan tanpa membawa barang apapun, hanya uang sisa belanja kak Leny dan kak Wiki. Meskipun jalan tanpa beban, saya tetap berjalan lambat karena rasanya hari ini begitu melelahan. Keluar, masuk gua, turun, naik ke lokasi penelitian. Ahhhh….. Tapi, saya tidak boleh mengeluh, baru saja dua hari di lapangan. Tiba-tiba Baso mengangetkan saya, “Cepat ko jalan Frans, malam mi.” Saya hanya menjawab iya saja. Langkah kaki pun saya percepat, tiba-tiba saya merasa ada yang jatuh dari kantong saya. Entah itu apa, saya berjalan terus dengan perasaan cemas.

            Setibanya di camp, saya langsung kembali mencari alat yang hilang. Mencari sambil terus berdoa. Mengarahkan senter ke segala arah berharap menemukan alat itu. Tiba-tiba saja saya melihat ada benda yang mengkilap. “Itu sana alatku eeeeee, yesss. Terima kasih Tuhan,” ucapku seketika bersyukur pada Tuhan. Tempat penyimpanan alat ukur akhirnya dipindahkan ke batang pohon yang berada pas di depan camp.

            Ini adalah malam terakhir kloter pertama bersama, yaahhh…. Kami membuat acara perpisahan. Untungnya, kak Leny membawa bakso dari Makassar. Akhirnya, kami pesta mie bakso. Kami akhiri hari yang melelahkan ini dengan menengguk air mineral dingin yang dibeli di Desa Bantimurung tadi. Ahh… Malam yang begitu menyegarkan dan  perut kenyang sekali.
           
            Saya pun lekas memeriksa kantong hendak memberi uang sisa belanja kak Leny. Tiba-tiba, kantong celana sebelah kiri tempat uang kak Leny tersimpan malah kosong. Saya periksa kantong sebelah kanan, semuanya uang saya. Kantong belakang malah tidak ada uang. “Dimana uangnya kak Leny? Aduh, jangan-jangan uangnya yang jatuh tadi di jalan,” batinku. Hal ini segera saya beritahukan pada kak Leny. Ia santai saja, katanya nanti di Makassar baru diurus. Saya menjadi tidak enak sekali malam itu. Apalagi uang saya sisa sedikit, jika harus mengembalikan uang kak Leny, bisakah saya hidup 12 hari ke depan dengan uang 20 ribu di tangan? Oh, tidak…… Kak Leny memutuskan untuk tidak menyoalkan itu.

            Selesai santap malam, kami memutuskan untuk masuk gua bersama. Kak Leny selama di lapangan, belum pernah masuk dalam gua ini. Kami bergegas mengambil perlengkapan dan segera menuju mulut gua. Kala itu saya berada paling depan disusul Kak Leny, Kak Wiki dan Baso.
Siap masuk gua bersama kak Leny

            Tiba-tiba, saya melihat ada yang mengkilap di depan mulut gua. Saya sudah dekat sekali dan hendak masuk, namun saya berkata “Apa itu kak? Kenapa kalau disenter dia mengkilap?” sambil menunjuk ke mulut gua. Kak Wiki pun menjawab dengan nada sedikit panik “Awas ko Frans, ular itu sana.” Untung saja, saya belum memutuskan masuk ke dalam gua. Saya menyimak baik-baik area mulut gua, astaga memang ada ular. Ada dua ular bertengger di sana siap menunggu kelelawar keluar. Saya teringat, ternyata ular memang salah satu predator kelelawar.

            Masuk gua malam ini tertunda. Kak Leny kecewa sekali tidak bisa masuk ke dalam gua. Tapi apa daya, kami tak mungkin menganggu ular yang sedang mencari santap malamnya itu. Jangan sampai kami berempat yang disantap.
Ular di depan mulut Gua Mara Kallang

            Tidak jadi masuk gua, kami pun kembali menghabiskan malam dengan berbagi cerita. Lagi-lagi, kisah cinta menjadi trending topic. Dalam pembahasan kali ini, tidak ada satu orang pun yang luput dari pertanyaan-pertanyaan. Ahhh, kami seperti sedang bermain Jujur-Berani di lapangan. Hahhaa. 




TO BE CONTINUE

0 comments:

Post a Comment