HARI BERSAMA KLOTER DUA
(Kloter dua : Behel dan kak Hery)
Rabu, 1 November 2017
Esok hari, Baso harus segera pulang.
Ada jadwal Rapat Kerja P.A.L pada sore hari jam 16.00 Wita dan Baso yang menjabat
sebagai Kordinator Badan Pengawas harus hadir rapat itu. Di pagi hari setelah
sarapan dan masuk mengambil data di dalam gua, saya menemani Baso berjalan
kembali ke desa terakhir. Ia harus pulang lebih dulu ke Makassar. Sedangkan kak
Leny dan kak Wiki menunggu di camp
hingga teman kloter kedua datang.
Kali ini, Baso berjalan sambil
memasang tali rafia berwarna biru pada pohon di sepanjang jalan. Tali ini akan menjadi
petunjuk bagi teman-teman kloter lainnya yang akan datang ke lokasi camp penelitian saya.
Sesampainya kami (saya dan Baso) di rumah
Pak RT, ternyata teman kloter kedua sudah datang, Behel dan Kak Hery sudah
menunggu lama. Mereka malah sudah siap berjalan ke lokasi camp. “Hufftttt…. Saya baru saja sampai dan hendak istirahat.
Haruskah saya jalan kembali ke camp
lagi? Capeknya,” ujarku saat itu kepada Behel dan Kak Hery.
Tidak ingin menyurutkan semangat
kloter kedua ini, saya akhirnya memutuskan langsung jalan ke lokasi camp. Saya berpisah dengan Baso dan
berkata “Terima kasih bro, jangan ko lupa datang lagi di hari terakhir nah.
Bantu ka tangkap kelelawar,” Ia hanya mengiyakan saja.
Behel dan kak Hery membawa dua daypack dan menenteng satu kantong
plastik berisi makanan masak dan roti yang telah dibuat oleh mama saya. Setiap
kloter memang harus membawa makanan yang diambil dari rumah saya. Kalau tidak,
kami bisa kekuranngan gizi di lapangan. Hahaha.
Perjalanan kami lalui kurang dari
satu jam. Kak Hery dan Behel yang masih segar berjalan begitu cepat. Hal ini
memaksa saya yang jadi penunjuk jalan pun harus berjalan lebih cepat.
Sesampainya di lokasi camp, kak Wiki ditemani kak Hery
memasang flysheet dan memperbaiki
tata letak lokasi camp. Saat semuanya
sudah beres, waktunya berpisah dengan Kak Wiki dan Kak Leny. Mereka menitipkan
pesan agar saya tidak lupa dimana letak alat penelitian di dalam gua. Saya memang
terkenal sebagai orang yang pelupa. Orang-orang dekat saya sudah hapal dengan
kebiasaan melupakan sesuatu itu.
WELCOME
kloter empat……..
Hari ketiga di lapangan saya lalui
bersama kloter kedua dengan santap siang. Bekal dari mama saya sangat nikmat
sekali rasanya. Nyummmy…. Dengan meminta kiriman makanan dari rumah, saya pun
merasa dekat dengan kedua orang tua saya. Buktinya saja, makanan kita sama
walau raga berada di tempat yang berbeda. Hahaha.
Selesai makan, kak Hery pergi
mencari sungai. Memang ada sebuah sungai yang letaknya agak jauh dari lokasi camp. Namun saya lupa jalan menuju sungai
itu. Wajar saja saya ke sungai itu tiga tahun lalu, jadi ingatan tentang lokasi
sungai sudah sangat buram.
Ketika kak Hery pergi ke sungai,
saya bersama Behel mencuci piring sambil bernostalgia. Behel ini teman SMA
saya, nama aslinya Astri. Tetapi, karena ia menggunakan behel saat SMA, maka
saya sering memanggilnya Abel (Astri behel) ataupun Behel saja. Ia anaknya
supel jadi tidak pernah ambil pusing dengan ejekan-ejekan saya. Kami bercerita
banyak hal sampai kak Hery kembali. Ia telah menemukan sungai. Besok siang
setelah masuk gua kami harus pergi mandi di sana. Yeaaaaaaaah…..
Malam hari, saya masuk gua bersama
kak Hery. Behel memutuskan untuk menunggu saja di camp. Ia takut merepotkan pengambilan data. Memang si Behel ini
anaknya rempong sangat loh. Hahhaa. Pengambilan data ini dilakukan setiap pagi
hari pukul 07.00 Wita serta malam hari pukul 19.00 Wita.
Selesai mengambil data di gua, Behel
menyambut kami dengan santapan salad buah. Woww… Behel memang berbelanja banyak
buah untuk dibawa ke lapangan. Katanya, biar Frans tidak kekurangan gizi.
Hahhaa. Padahal, buah-buahan yang beranekaragam ini justru merangsang untuk
buang air besar -_- Tetapi, saya berterima kasih bisa menemukan teman seperti Behel
yang bawel tapi perhatiannya sangat besar ini. Hahaha. Malam ini diakhiri
dengan salad buah dan kami pun beristirahat.
Salad buah + twister + coklat toblerone ala Behel
|
Kamis, 2 November 2017
Keesokan
harinya, seperti biasa tanpa menyetel alarm saya bangun pukul 05.30 Wita. Saya lalu
membangunkan Behel untuk shalat subuh.
Ia juga membangunkan kak Hery untuk shalat
bersama. Ternyata kak Hery lebih dulu bangun. Katanya, ia kaget jam 04.00
Wita dan tak bisa tidur hingga waktunya shalat
subuh. Setelah shalat, kedua
orang ini malah kembali tidur. Hahaha. Saya bergegas menyiapkan sarapan dan
perlengkapan untuk masuk gua. Oh iya, kak Hery adalah orang yang paling ahli
meracik makanan di antara kami semua. Jadinya dia tanpa disuruh memilih untuk
memasak nasi. Katanya, nasi buatan saya terlalu lembek, selain itu biasanya
hanya setengah masak. Aduh, payah deh……
Kak
Hery membagikan tips cara masak nasi. Katanya, dia selama ikut kegiatan
lapangan di organisasinya selalu dapat tugas masak nasi. Jadi sudah khatam deh.
Hahaha. Ia berpesan agar mengukur jumlah air yang akan dimasukan bersama beras
itu dengan pas. Jika kurang air maka nasi akan keras dan jika kelebihan air,
nasi bisa jadi bubur. Oleh karena itu, harus pas. Jika di tengah waktu memasak
ternyata nasinya kekurangan air, jangan sekali-kali menambahkan air. “Pasrah mko saja Frans kalau masak mi nasimu baru keras ki karena kalau ko tambahkan air itu tidak membantu nasimu jadi lembek. Jadi kalau
jelek dari awalmi nasimu, yah sudah ikhlaskan mi saja,” katanya saat itu.
Setelah
menyantap sarapan pagi, kami (saya dan Kak Hery) bergegas untuk masuk ke dalam
gua mengambil data suhu dan kelembaban. Selain itu, kami juga ingin memotret
kelelawar yang berada di Aula Gua untuk dihitung jumlah populasinya. Saya
sebelumnya sudah tau bahwa kak Hery ini memiliki kemampuan untuk mengambil
gambar yang baik. Hal ini karena pernah stalking
akun Instagramnya. Ini pengakuan loh
kak. Tolong jangan di unfollow yah
akun saya. Hahahaha.
Ternyata
memang kemampuan menggunakan kamera yang dimiliki kak Hery, sangat baik. Tapi,
tetap saja perlu waktu lama untuk menyetel pengaturan di kamera agar gambar
yang diinginkan dapat diambil dengan baik. Beda kamera, beda pengaturan
ternyata. Belum lagi ada lensa panjang (lensa tele) yang digunakan jadi agak ribet setelan kameranya. Sedihnya,
saya tidak mengerti sama sekali tentang itu. Kami pun menghabiskan waktu
setengah jam lebih untuk menyetel kamera saja.
Setelah
kamera siap, saya mengarahkan headlamp
ke tempat koloni kelelawar bertengger. Kelelawar ini merasa terganggu dan
terbang ke sana ke mari. Sabaaaaaaaaar…… Kami pun berdiam lama hingga setengah
jam tanpa cahaya. Hal ini dilakukan agar kelelawar kembali ke tempatnya
bertenggernya. Benar saja, semua kelelawar kembali tenang. Saya kembali memberi
cahaya ke arah yang ingin dipotret. Kelelawar pun tidak seagresif tadi. Kali
ini, hanya beberapa saja yang terbang.
Saat
kamera sudah mengarah ke kerumunan kelelawar, tiba-tiba kak hery batuk.
Kelelawar pun kembali terbang. Ahh….. Kelelawar memang sangat peka terhadap
suara. Jadi sebisa mungkin, kita harus tenang tanpa pergerakan yang menimbulkan
suara berlebih. Kami berdiam lagi tanpa cahaya. Saya memberi tahu kak Hery agar
batuk dulu sebelum siap motret.
Lama
berdiam diri di dalam Aula Gua, kami merasa sangat panas dan bau tai kelelawar
begitu menyengat hingga ke kepala. Melelahkan sekali rasanya, padahal belum
dapat satu foto pun.
Akhirnya,
kak Hery menyemangati saya yang hanya duduk termenung melihat kelelawar yang
bergantungan. “Jangan ko galau Frans,
tunggu mi jadi foto ta ini nah,” katanya saat itu. Ia pun
mengarahkan kamera ke arah kerumunan kelelawar dan menginstruksikan saya untuk
menyalakan headlamp.
Beberapa
kali kak Hery mengambil gambar dan menunjukkan ke saya. Ia meminta saya melihat
dulu hasil potretannya. Saya hanya melihat sambil menyebut nama famili dari
kelelawar yang di foto. “Oh yang ini kelelawar Rhinolophus kak. Di hidungnya
itu ada tanduknya kak,” ujarku. Nampaknya kak Hery tidak mengerti apa yang saya
katakan. Dia malah menanyakan ke arah mana lagi harus memotret, tanganku pun
berputar-putar dan menunjuk seluruh area Aula Gua yang sangat luas.
Setelah
itu, kami beristirahat. Saya membuka tas untuk mengambil kue dan air yang
sengaja dipacking dari camp karena pasti waktu yang dihabiskan
di dalam gua ini lebih lama.
Saat
makan, kak Hery membuka perbincangan. Katanya saat itu, “Senang sekali ko pasti toh? Senyum-senyum mko saya lihat ini. Takkalanya adami fotonya kelelawar,” Saya hanya tertawa mendengarnya
sambil berkata “Iya toh. Berhasil ka
ini kak,” Kami hanya menghabiskan setengah bungkus biskuit Roma Sari Gandum dan
kembali melanjutkan tugas memotret kelelawar. Sebelumnya saya menjelaskan bahwa
masih ada satu famili kelelawar yang belum didapatkan fotonya. “Ada yang
namanya kelelawar hidung babi kak, Hipposideros. Dia itu seperti namanya
hidungnya mirip dengan hidungnya babi. Warna bulunya kuning dan ada juga putih.
Nah, di mana dia berada yah di aula
seluas ini?” Mendengar pernyataan ini, kak Hery tambah bingung.
Akhirnya,
kami kembali memotret di daerah yang sebelumnya telah diambil fotonya untuk
memastikan letak sarang kelelawar Hipposideros. Dua jam lebih di dalam gua, kami
tak menemukan sarang kelelawar hidung babi. Badan sudah penuh keringat karena
sarang kelelawar ini sangat panas. Saya mengajak kak Hery keluar gua.
Pengambilan data dilanjutkan nanti malam saja.
Keluar
dari gua, kami sudah mengatur rencana untuk pergi ke sungai. Ternyata, saya
belum mandi sejak hari pertama sampai di Gua Mara Kallang. Rombongan kloter
pertama hanya mencuci muka dan sikat gigi saja tiap pagi dan malam serta
mengganti pakaian. Hahahaha.
Perjalanan
menuju ke sungai ternyata sangat melelahkan. Waktu tempuh yang dihabiskan
sekitar setengah jam. Berjalan sangat jauh, Behel yang sedari tadi eksis dengan
selfie selama di perjalanan pun
berkata “Adehh… Jauh ta jalan deh.
Pulang ini keringat jki lagi nah,”
Ucapannya ini disusul dengan ketawa dari saya dan kak Hery. Kami semua sepakat
jalan ini terlampau jauh dan akan menghasilkan keringat lagi jika kembali ke camp.
Oh
iya, keputusan untuk meninggalkan camp
kosong adalah hal yang membuat saya sangat was-was. Saya takut dengan kamera
dan laptop yang ditinggalkan di dalam tenda. Namun, saya tetap berpikir positif
dan berdoa semoga tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan.
Saking
lamanya berjalan, saya dan Behel mulai lelah dan tertinggal jauh sekali dari
kak Hery sang penunjuk jalan. Sesekali, Behel teriak meminta kak Hery menunggu
kami yang ketinggalan jauh ini. “Jangan bilang ini sungainya kak.” ujarku
tiba-tiba menunjuk ke arah sungai kecil. Kak Hery menggeleng-geleng saja sambil
menyuruh kami (saya dan Behel) cepat berjalan. Tidak lama kemudian, kami
sampai. Akhirnya, sungaaaaaaaaai….. Mandi…. Cuci baju….. Ambil air bersih……
Saya
mencuci baju dulu sebelum mandi. Banyak sekali pakaian kotor saya mulai dari
hari pertama. Selain itu, cover all
yang digunakan masuk gua pun sangat kotor sekali harus segera dicuci. Selesai
mencuci, saya mandi. Saat itu, botol air mineral yang kami bawa untuk menampung
air minum digunakan menjadi gayung. Air sungai yang sangat jernih ini membuat
badan merasa segar sekali.
Mencuci pakaian, mandi dan mengisi air di botol, jergen dan drybag pun sudah selesai. Kami bergegas pulang, tiba-tiba saya teringat bahwa tadi di perjalanan menuju sungai pesan Line masuk di Hp Behel. Artinya ada jaringan telepon di sekitar sungai. Saya mencoba mengaktifkan Hp saya, sekalian ingin menghubungi teman yang jadi kloter ketiga. Ternyata jaringannya tidak stabil. Biasa muncul kemudian tenggelam. Aduh….
Behel
pun menawarkan saya menelpon lewat Hp miliknya saja. Saya jadi merasa tidak
enak harus menggunakan pulsanya. Tapi, ia meyakinkan saya untuk tidak perlu sungkan-sungkan.
Hahaha. Akhirnya, saya menelpon Anto, teman kloter ketiga. Panggilan saya
langsung dijawab. Sayangnya, Anto berkata ia tidak jadi datang menemani.
Motornya tiba-tiba rusak dan Ical yang rencananya akan pergi bersamanya tidak
bisa dihubungi. Saya jadi bingung harus bagaimana. Saya hanya menitip pesan,
jika ia ke kampus tolong beritahu teman-teman saya di P.A.L bahwa esok sampai
dua hari kedepan tidak ada yang menemani Frans di lapangan. Harapannya ada
teman-teman di P.A.L yang kosong aktivitasnya dan bisa menemani saya.
Tetapi,
harapan saya belum pupus. Masih ada dua orang lagi yang menjadi anggota kloter
ketiga, Pika dan Beddu. Saya mengembalikan Hp Behel dan menghubungi Pika dengan
menggunakan Hp saya. Sebelum saya menelpon, ternyata sms dari Pika lebih dulu masuk
di Hp saya. Isinya permohonan maaf. Katanya ia sudah berusaha menghubungi Beddu
yang jadi partner jalannya dan tidak
pernah ia berhalangan ikut karena menjadi asisten di kampus dan keberangkatan
menuju Pangkep bertepatan dengan jadwal praktikumnya.
Kepala
saya jadi pusing sekali, kini bukan cuma burung-burung yang berputar kelelawar
pun turut serta. Mendengar cerita tentang kondisi kloter tiga, kak Hery
menyuruh saya untuk tidak perlu pusing. Dirinya dan Behel masih bisa memperpanjang
waktu untuk menemani saya. Katanya, mereka masih bisa tinggal satu hari lagi di
tempat ini. Tetapi tawaran itu tidak membuat perasaan saya sepenuhnya lega.
Saya
pun memutuskan menghubungi teman saya, kak Julian. Selain kedua orang tua, kak
Julianlah orang yang tidak pernah absen saya hubungi saat mendapat jaringan
telepon di lokasi penelitian. Ia adalah orang yang punya segudang solusi untuk
saya yang sering panik dan berat sejak dalam pikiran ini. Panggilan saya
tersambung, sayangnya saya tak mendengar apa yang ia katakan. Jaringannya
hilang-hilang. Saya memutuskan untuk menceritakan masalah saya lewat pesan
singkat saja.
Tanpa
menunggu lama, ia sudah membalas pesan. Saya memang menyuruhnya sigap memegang
Hp selama saya berada di lapangan karena jika ada apa-apa pasti saya memberi
kabar. Mendapat balasan sms tidak membuat saya plong. Saya memutuskan harus menelpon. Akhirnya tersambung dengan
jaringan yang stabil. Setiap permasalahan saya ceritakan secara rinci, ia
seperti biasanya selalu mendengar dengan tenang.
Saya
memintanya datang menemani di lokasi penelitian dan ia harus menghubungi Pika
sebagai teman jalannya. Syukurnya, ia mengiyakan saja. “Saya izin sama mamaku
dulu nah. Nanti saya hubungi Pika. Tenang mko,
datang ja itu Frans,” katanya menutup
perbincangan di telepon. Hati saya pun lega karena selama kenal dengan kak
Julian, saat ia berjanji selalu berusaha ditepati.
Kembalilah
kami bertiga menuju lokasi camp. Saya
menceritakan pada kak Hery dan Behel bahwa ada teman KKN saya dan teman saya di
identitas yang akan datang besok.
Pengambilan data esok hari pun aman. Sayangnya, masalah kami ternyata belum
selesai. Air yang dibawa dari sungai begitu berat. Saya memutuskan membawa drybag 10 L, Behel membawa dua botol
Aqua 2L, sisanya kak Hery membawa jerigen dan tiga botol Aqua 2L.
Melihat
pembagian beban, sudah jelas kak Hery yang jadi pemenang dari pembawa beban
terberat. Tetapi hal itu tak membuat saya dan Behel berjalan cepat kembali ke camp. Saat berjalan, langit makin
mendung. Akhirnya kak Hery mengambil semua beban air yang dibawa Behel dan ia
juga mengambil drybag yang saya bawa
ditukar dengan jerigen. Dengan beban yang ¾ ada di pundak kak Hery, saya dan
Behel pun berjalan dengan cepat. Semangat yeyeyyelalalala….
Sesampainya
di camp, saya langsung memeriksa
tenda. Ternyata barang kami aman. Desa ini betul-betul aman. Kami lekas
menjemur semua cucian dan bersiap santap malam. Seperti malam pada kloter
pertama, kami juga memutuskan berpesta di malam terakhir ini sebagai
kenang-kenangan perpisahan. Lagi-lagi, pesta salad buah. Yeaaaaah…..
Malam
ini, kami memutuskan masuk gua bertiga. Behel pun diyakinkan untuk ikut masuk
bersama. Pemandangan di dalam gua sangat menakjubkan. Lagian, kami bisa
membantunya jika ia kesulitan menyusuri gua. Sesudah santap malam, kami bersiap
masuk gua sekaligus pengambilan data di malam hari.
Sekarang,
kami sudah siap dengan coverall dan
berbagai perlengkapan pengambilan data. Saya berjalan di depan, disusul Behel
kemudian kak Hery. Saat dekat dengan mulut gua, saya mengamati dulu sekitarnya.
Malam
ini, ular muncul lagi. “Auuu…. Itu ada ular di sana. Tidak jadi ki masuk ini,” ucapku sambil menunjuk ke
arah mulut gua. Behel yang mendengarnya malah panik. “Aduh, pulang mko besok Frans. Sama-sama ki. Bahayanya penelitianmu. Ada ular
wee, ada ular. Takut ku. Tidak disantap jki
nanti malam kalau tidur itu? Jangan sampai masuk di tenda ta. Pulang mko deh Frans,” katanya panjang dan cepat. Mendengarnya saya hanya
menyuruhnya santai saja. (Padahal dalam hati dumba’-dumba’ gleter)
Hahaha.
Lagi-lagi,
rencana foto bersama di dalam gua gagal. Ular yang sedang mencari makan pun
membuat kami juga mencari makan di tenda saja dibanding masuk dalam gua. Salad
buah buatan Behel kembali mengisi perut sebelum tidur.
TO BE CONTINUE
0 comments:
Post a Comment